Berubah itu tidak mudah. Mungkin buat yang belia, yang baru dan lincah, berubah itu mudah. Tapi buat kami yang berkeluarga besar, keluarga dengan 45.000 kerabat, berubah itu tidak mudah.
Kalimat di atas adalah potongan narasi yang diambil dari video berjudul Blue Bird berbenah untuk berubah yang diupload Blue Bird di akun resmi YouTube-nya. Video tersebut dibuat pasca kericuhan antara pengemudi taksinya dengan angkutan online pada 22 Maret 2016.
Cerita yang pernah terjadi
"Saat itu kami merasa selalu di depan dalam inovasi. Ternyata, 22 Maret 2016 pagi hari saya melihat, kok banyak taksi yang berkumpul. Hal itu membuat manajemen shock," kata Noni Purnomo, CEO Blue Bird Group di Mekari Conference pada sesi "Digital Transformation: The Key to Stay in The Game" (25/4).
"Kejadian itu seperti wake-up call. Mengapa? Tadinya, Blue Bird dipandang sebagai perusahaan taksi yang disayang oleh banyak orang, Blue Bird yang seharusnya menjadi Bird of Happiness tapi kok malah jadi Angry Bird. Sampai sekarang, ya di kepala saya masih traumatic," lanjutnya.
Baca juga: Bagi Bisnis, Kegagalan Bukan Akhir
Taksi Blue Bird (shutterstock)
Menurut Noni, video tersebut dibuat bukan hanya untuk dikomunikasikan kepada pelanggan, tapi juga internal Blue Bird. Karena, bagaimanapun juga, semua perubahan harus dimulai dari diri sendiri.
Disrupsi yang terjadi saat itu memang lebih berdampak pada perusahaan itu, bukan masyarakat. Menanggapi hal tersebut, mereka mulai berbenah. Pasca kerusuhan, tarif gratis seharian pun digulirkan.
"Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kembali moral para pengemudi. Banyak pengemudi yang bercerita bahwa mereka senang. Senang bisa melihat banyak orang yang sebelumnya tidak bisa naik taksi, dengan adanya layanan gratis bisa naik taksi," tambahnya.
Bicara soal disrupsi
Bicara soal bisnis Blue Bird yang terdisrupsi tahun 2016, Noni menyampaikan sejak 1972 mereka dikenal sebagai perusahaan taksi yang selalu melakukan disrupsi terhadap industri transportasi yang ada di Indonesia.
"Blue Bird juga merupakan taksi pertama di Indonesia yang menggunakan argometer, ketika taksi lainnya masih banyak yang belum. Kami selalu melakukan inovasi. Sampai tahun 2011 pun, Blue Bird menjadi perusahan taksi pertama di dunia yang memiliki layanan Taxi Mobile Reservation," katanya
Baca juga: Belajar dari Tabloid Bola, Transformasi Sekarang Juga!
Ilustrasi disrupsi (shutterstock)
Berbagai hal yang terjadi memang seharusnya dijadikan pelajaran. Begitu pun dengan Noni dan Blue Bird. Perempuan kelahiran 20 Juni 1969 itu memetik dua pelajaran dari kegoncangan yang dialami Blue Bird.
Pertama, cara komunikasi dengan pelanggan dirasa kurang efektif. Blue Bird dipandang sebagai sebuah perusahaan yang konvensional, tidak pernah berinovasi, dan tidak adaptif terhadap teknologi.
Kedua, mengetahui kekuatan dan kelemahan yang sebenarnya. Blue Bird memang perusahaan taksi pertama di dunia yang memperkenalkan layanan Taxi Mobile Reservation tapi terlena karena kurang mengikuti perkembangan lainnya lebih lanjut.
"Kita memperkenalkan teknologi itu tahun 2011. Mungkin, pada saat itu penetrasi market terhadap perkembangan teknologi dan digital masih kurang dibandingkan tahun 2016," tambah Noni.
Baca juga: Siap Terdisrupsi?
Ilustrasi perencanaan bertransformasi (shutterstock)
Belajar dari kesalahan Pastinya, perusahaan taksi terbesar di Indonesia itu membaca dan mempertimbangkan tren bisnis secara profesional. Namun, perempuan yang namanya pernah masuk dalam Forbes Asia's Women To Watch itu mengakui bahwa keunggulan pelayanan pelanggan yang dimiliki ternyata tidak benar-benar cukup.
"Hal ini sering terjadi pada perusahaan-perusahaan yang merasa berada di zona nyaman. Seharusnya tidak boleh begitu. Jangan pernah merasa cepat puas," sambungnya.
Jangan pernah merasa ada di puncak gunung, karena yang ada selanjutnya adalah turun gunung. Itu ujaran mendiang Neneknya, pendiri perusahaan yang berawal dari bemo dan taksi gelap itu.
Banyak orang berpikir bahwa disrupsi terbesar dalam industri transportasi adalah teknologi. Sebenarnya disrupsi dari teknologi tidak terlalu besar. "Disrupsi terbesar buat kami adalah tarif. Cara pentarifan yang berbeda dengan perusahaan publik lainnya, sementara kami harus bergantung pada keputusan pemerintah soal tarif," sambungnya.
Baca juga: Belajar Harus di Kelas? Ah Jadul Itu!
Ilustrasi belajar dari kesalahan (shutterstock)
Berbenah, berkolaborasi, dan terus berinovasi Noni menekankan 3 poin penting yang dilakukan Blue Bird untuk beradaptasi di era digital.
Pertama, perubahan internal. Mendiskusikan ulang kebutuhan pelanggan, memperbaiki platform yang sudah ada dan membuatnya agar mudah diakses banyak orang adalah beberapa contohnya. Tak ketinggalan mengevaluasi sumber daya manusia (SDM) yang ada.
Kedua, kolaborasi dan mulai belajar membuka diri. Namun, kolaborasi yang dilakukan harus memberikan sinergi bagi kedua belah pihak.
Ketiga, inovasi. Berinovasi sebaik mungkin agar dapat memberikan layanan terbaik bagi pelanggan.
Disrupsi memang tidak bisa diprediksi. Mau tak mau, siap tak siap, semua pasti terjadi. Sebagai langkah lanjutan bangkitnya Blue Bird dari keguncangan yang pernah terjadi, belum lama ini mereka meluncurkan Mobil Listrik sebanyak 29 unit.
"Salah satu visi kami adalah sustainability, baik bagi bisnis maupun lingkungan. Melalui gerakan #birukanlangitjakarta, kami ingin lebih dari sekadar menggunakan teknologi," tutup Noni.
Menurutmu?
Baca juga: Inovasi Adalah Harga Mati!
- Editor: Dikdik Taufik Hidayat