LogoDIGINATION LOGO

Chatbot AI Diserbu untuk Memprediksi Pengganti Paus Fransiskus, Apa Hasilnya?

author Oleh Dini Adica Jumat, 25 April 2025 | 12:52 WIB
Share
Kematian Paus Fransiskus kini membuka babak baru: siapa yang akan menjadi penerus Tahta Suci Vatikan?
Share

Umat Katolik sedunia tengah berduka sejak Paus Fransiskus wafat pada Senin, 21 April 2025, pukul 07.35, di kediamannya, Casa Santa Marta, Vatikan, Italia.

Jenazah Bapa Suci disemayamkan di Basilika Santo Petrus sejak Rabu (23/4/2025), dan akan dimakamkan di Lapangan Santo Petrus, Vatikan, pada Sabtu (26/4/2025) pukul 10.00.

Kematian pemimpin tertinggi dalam Gereja Katolik tersebut saat ini membuka babak baru: siapa yang akan menjadi penerus Tahta Suci Vatikan?

Baca juga: Medical Spa Kini Andalkan AI untuk Memberikan Konsultasi Kulit yang Lebih Akurat

Pertanyaan besar ini pun memicu berbagai spekulasi, baik dari kalangan internal Vatikan maupun masyarakat luas. Bahkan berbagai chatbot AI pun diserbu pengguna dengan pertanyaan yang sama: siapa yang akan menjadi pengganti Paus Fransiskus?

Beberapa chatbot canggih, seperti ChatGPT milik OpenAI, Grok milik Elon Musk, dan Gemini dari Google, diminta untuk memprediksi kandidat terkuat untuk menggantikan Paus Fransiskus. Namun hasilnya bisa dibilang beragam, dan mayoritas masih “main aman”.

Dua Nama Muncul ke Permukaan
Di antara berbagai nama yang muncul, ada dua sosok yang jadi sorotan utama: Kardinal Pietro Parolin (Italia) dan Kardinal Luis Antonio Tagle (Filipina).

Grok dan Gemini sama-sama menempatkan Parolin sebagai kandidat kuat. Saat ini ia menjabat Sekretaris Negara Vatikan, dan bisa dibilang sebagai orang nomor dua selama masa kepemimpinan Paus Fransiskus.

Menurut Gemini, Parolin memiliki posisi strategis dan pengaruh besar dalam dinamika internal Gereja Katolik, sehingga menjadikannya pilihan logis.

Sementara itu, ChatGPT lebih condong ke Tagle, kardinal asal Filipina yang dikenal luas sebagai pembela kaum miskin, migran, dan kelompok terpinggirkan. Karakteristik ini juga melekat pada Paus Fransiskus.

Tagle sering disebut-sebut sebagai “Fransiskus dari Asia”, dan dilihat sebagai penerus alami dalam melanjutkan visi Gereja yang inklusif dan sosial.

Baca juga: Hindari Menginput Informasi Ini ke ChatGPT untuk Keperluan Apapun

AI Masih Ragu?

Menariknya, semua chatbot menekankan satu hal: sangat sulit, bahkan nyaris mustahil, untuk benar-benar memprediksi siapa yang akan menjadi pengganti Paus Fransiskus. Sebab, ini bukan soal menghitung suara dalam pemilu biasa.

Gemini menyampaikan dengan cukup jelas bahwa walaupun AI bisa menganalisis data dan pola, proses konklaf (di mana para kardinal memilih paus baru) terlalu tertutup dan kompleks. Banyak faktor tak terukur yang ikut bermain: dari aliran teologis, usia, pengalaman pastoral, sampai dinamika politik internal Gereja.

Hal ini senada dengan respons dari Grok, sebelum menyodorkan lima nama kandidat kuat, “Tidak ada calon pasti pengganti Paus Fransiskus karena konklaf bersifat rahasia dan sulit diprediksi.”

ChatGPT juga mengingatkan, apa yang disampaikannya bukan ramalan seperti dalam bola kristal, tetapi lebih ke gambaran siapa saja yang mungkin jadi pertimbangan para kardinal.

Adapun respons Meta AI lebih jujur. Begini katanya, "Maaf, saya tidak memiliki informasi tentang calon pengganti Paus Fransiskus. Kabar tentang calon Paus biasanya bersifat internal dalam Gereja Katolik dan tidak selalu dipublikasikan. Anda bisa mencari informasi terbaru tentang kemungkinan calon Paus melalui sumber berita atau situs web resmi Gereja Katolik."

Satu AI lainnya, Mistral AI dari Prancis, juga menolak berspekulasi. Dengan lugas, chatbot ini menyatakan tidak punya kemampuan untuk menebak atau berspekulasi soal siapa pengganti Paus Fransiskus.

Sebagai gantinya, Mistral menyarankan publik untuk mengikuti perkembangan dari sumber berita yang kredibel.

Baca juga: Anti Antre, Berikut Tips Membeli Emas Digital 

Teknologi Canggih Tetap Ada Batasnya

Fenomena ini cukup menarik. Di satu sisi, kita melihat bagaimana AI sudah sangat canggih dalam menganalisis dan memberikan insight dari data yang kompleks. Tetapi di sisi lain, ia juga menunjukkan batas kemampuannya, terutama ketika masuk ke ranah yang sifatnya sangat manusiawi, penuh emosi, nuansa, dan bahkan misteri, seperti pemilihan Paus.

AI mungkin bisa memproses jutaan data dalam hitungan detik, tapi ia belum (atau mungkin tidak akan pernah) bisa menembus akses ke dalam Kapel Sistina saat para kardinal bermusyawarah dalam konklaf.

Jadi, sementara para ahli, jurnalis, dan AI saling melempar prediksi, kita tetap harus menunggu hasil akhir dari proses yang telah berjalan selama berabad-abad tersebut dengan cara yang sama: rahasia, khusyuk, dan sepenuhnya manusiawi.

Pada akhirnya, seperti yang sering dikatakan dalam dunia kerja: "Data penting, tapi feeling dan pengalaman juga nggak kalah berperan."

Sumber: GMA Network, Grok, Meta AI

  • Editor: Dini Adica
TAGS
RECOMMENDATION
LATEST ARTICLE