Teknologi, informasi, dan komunikasi semakin berkembang pesat. Sebagai pengguna, kita terkadang kalah cepat dalam memanfaatkan fitur-fitur yang disediakan. Handphone, laptop, dan perangkat elektronik lainnya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, membantu mempermudah pekerjaan dan memberikan kenyamanan.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 Rosa Vivien Ratnawati, mengungkap bahwa terdapat 2 juta ton sampah elektronik yang ada di indonesia dan sudah memasuki fase mengkhawatirkan. Fase mengkhawatirkan ini tentu menjadi urgensi yang harus segera kita temukan jalan keluarnya. Karena jika tidak, menurut laporan The Global E-Waste Monitor 2022 sampah elektronik sejak 2019 mencapai 53,6 juta ton atau sekitar 7,3 kilogram (kg) per kapita dan diprediksi jumlahnya akan terus meningkat di tahun 2050 mencapai 110 ton.
Masalah e-waste menjadi isu serius karena mengandung komponen berbahaya dan beracun seperti timbal, merkuri, dan kadmium. Jika tidak dikelola dengan baik, dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sayangnya, data menunjukkan bahwa e-waste merupakan limbah dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
Baca juga: Strategi Sukses Peritel Indonesia Menghadapi Tantangan Pasar Ritel
Di tingkat nasional, recycling rate e-waste masih rendah, hanya mencapai 17,4% dari total 2 juta ton e-waste pada tahun 2021. Padahal, e-waste mengandung material berharga seperti logam mulia dan logam tanah langka yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Melihat fenomena ini, pemerintah melalui peraturan No. 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik menetapkan bahwa e-waste masuk dalam kategori sampah spesifik yang memerlukan pengelolaan khusus. Setiap orang yang menghasilkan sampah e-waste memiliki kewajiban untuk melakukan pengurangan sampah melalui pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, atau pemanfaatan kembali sampah. Jika pemerintah sebagai penghasil sampah spesifik tidak mampu mendaur ulang e-waste, maka harus diserahkan kepada fasilitas pengelolaan sampah spesifik.
Dalam konteks ini, peran Badan Standardisasi Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BSILHK) menjadi krusial. BSILHK yang dibentuk pada tahun 2021 bertugas untuk menyelenggarakan koordinasi, perumusan, dan pengembangan standar serta penerapan standar dan penilaian kesesuaian standar instrumen di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
BSILHK memiliki lima program, termasuk Program Sirkular Ekonomi, yang bertujuan untuk mendorong pelaksanaan reduce, reuse, dan recycle secara sistematis. BSILHK juga berkolaborasi dengan perusahaan dan fasilitas yang memiliki izin pengelolaan dan pemanfaatan e-waste, untuk menjawab tantangan pengelolaan sampah spesifik.
Sistem standarisasi yang diterapkan oleh BSILHK memudahkan aliran informasi dan data yang terpantau, tertelusur, dan terverifikasi. Kolaborasi dan koordinasi antar pihak menjadi kunci sukses dalam pelaksanaan sistem ini.
Baca juga: Ketahui Hak Untuk Perbaiki, Mengatasi Tantangan Sampah Elektronik
Pemerintah juga memiliki peluang untuk mengoptimalkan pengelolaan e-waste melalui tata kelola barang milik Negara. Barang elektronik yang sudah tidak dapat digunakan dapat dimanfaatkan kembali melalui mekanisme lelang. Hal ini dapat menjadi sumber kekuatan ekonomi baru, yakni ekonomi hijau.
Melalui langkah-langkah ini, diharapkan terjadi keseimbangan antara lingkungan, ekonomi, dan masyarakat. Pengelolaan e-waste yang baik akan memberikan dampak positif bagi keberlanjutan lingkungan dan ekonomi, serta memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat. Penting bagi seluruh pihak, termasuk pemerintah, untuk bekerja sama dalam upaya mencapai tujuan besar ini. Dengan demikian, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang.