Lembaga riset Nielsen melaporkan temuan terbarunya yang menyebutkan bahwa persentase ketepatan sasaran iklan di media digital untuk jenis platform atau network hanya 40%, sementara untuk jenis media website digital sebanyak 60%.
“Jadi sisanya tidak tepat sasaran alias nyasar,” ujar Hellen Katherina, Executive Director Media Business Nielsen Indonesia saat pemaparan hasil riset bertajuk “Digital Consumer Trends and On-Target Audience Accuracy on Digital Ads” di Jakarta kemarin (Rabu, 14/2). “Misalnya belanja iklan Rp100 juta di website, 60% yaitu sebanyak Rp60 juta memang tepat sasaran. Sisanya yang 40% sebanyak Rp40 juta sia-sia,” jelas Hellen.
Hal tersebut berarti hampir separuh iklan yang dipasang di media digital dikonsumsi oleh orang yang salah dan tidak tepat menyasar target yang dituju pengiklan. Hellen menyontohkan iklan pembalut wanita yang ditargetkan untuk konsumen wanita, bisa jadi justru dibaca atau diterima oleh pengguna internet berjenis kelamin pria.
Penyebabnya menurut Hellen karena di media digital penuh dengan fraud. “Ini karena basisnya bukan orang, tapi aktivitas yaitu klik dan view. Bisa saja ada 1 juta impression tapi ternyata itu semua bot,” ujar Hellen. Maksudnya, aktivitas klik dan view tidak dilakukan oleh pengguna internet, melainkan oleh rekayasa elektronik.
Ia juga menyontohkan video di YouTube yang diukur dengan banyaknya view. Jumlah view menurutnya tidak berbanding lurus dengan jumlah pengguna yang menonton. “Bisa jadi 1 orang pengguna menonton berkali-kali sampai 200 kali,” ujarnya.
Sekalipun banyak pelaku industri yang mulai mengembangkan strateginya ke digital media, tidak dapat dipungkiri bahwa beriklan di digital media tidak semudah di media konvensional. Hellen menyebut bahwa media digital tidak begitu saja membunuh media konvesional, namun saling melengkapi.