Tentu kamu sudah tidak asing lagi mendengar kata Thrifting. Atau jangan-jangan kamu salah satu penggemar pakaian thrifting?
Baru-baru ini dunia maya dihebohkan dengan dilarangnya jual beli produk thrifting. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mengusulkan larangan thrifting karena dinilai merusak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal.
Namun perlu digaris bawahi pemerintah tidak melarang kegiatan berburu barang bekas atau sering disebut "thrifting". Bentuk kegiatan yang dilarang oleh pemerintah adalah penyelundupan dan impor pakaian bekas.
Larangan penyelundupan pakaian impor ini sudah dilarang sejak 2015. Namun menteri Kemenkop UKM Teten Masduki menemukan pakaian bekas naik 623% pada tahun 2022.
"Impor pakaian bekas ini sudah dilarang dari 2015, tapi pakaian bekas data dari BPS naik sampai 623% pada tahun 2022 lalu," ujar Teten.
Baca juga : Go Internasional, EIGER Buka Cabang di Swiss
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan pun juga telah menerbitkan kembali peraturan Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Namun, sejak larangan impor barang diterbitkan pada 2022, nyatanya masih banyak pelaku usaha yang tetap menjual pakaian impor bekas secara ilegal.
Lantas bagaimana sejarah Thrifting di Indonesia?
Di kalangan anak muda, jual beli pakaian impor bekas dikenal dengan istilah thrifting. Praktik jual beli pakaian bekas atau thrift masih marak di kawasan Pasar Senen, Pasar Baru dan Blok M.
Dikutip dari Akurat.co , thrifting di Indonesia diperkirakan telah muncul sejak 1980-an dan awalnya berkembang di wilayah pesisir laut Indonesia. Wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga seperti Sumatera, Batam, Kalimantan, hingga Sulawesi menjadi tempat utama impor pakaian bekas.
Seiring waktu, bisnis pakaian impor bekas mulai berekspansi ke pulau Jawa. Namun agar laku dipasaran, kebanyakan penjual barang tersebut menyebutnya dengan sebutan ‘barang impor’ bukan ‘barang bekas’.
Baca juga : Mengambil Hikmah dari Kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB)
Seiring berjalannya waktu baju thrifting makin melesat, tidak hanya di toko fisik. Baju ini mudah didapat di toko online. Bahkan sejak tahun 2010 hingga saat ini preferensi gaya fesyen anak muda di Indonesia mulai berubah.
Mengacu pada hasil survei Goodstats mengenai preferensi gaya fesyen anak muda Indonesia yang dilaksanakan pada 5-16 Agustus 2022 dengan melibatkan 261 responden, mayoritas responden atau sekitar 49,4% mengaku pernah membeli fesyen bekas dari hasil thrifting.
Meski banyak yang menyukai baju thrifting karena dianggap murah dan ber-branded, namun nyatanya larangan penjualan baju thrifting baik untuk di-stop karena berdampak bagi fesyen Indonesia. Apa saja dampaknya?
- Menghilangkan identitas budaya Indonesia
Ketika baju bekas impor murah membanjiri pasar, maka dapat mempengaruhi identitas budaya Indonesia dan merusak keunikan produk mode lokal. Tak banyak disadari bahwa hal ini bisa merugikan industri fesyen dalam jangka panjang. karena dapat semakin mempersulit desainer Indonesia untuk membangun identitas merek yang unik.
- Merusak usaha UMKM lokal
Akibat membanjirnya impor pakaian bekas dapat menurunkan angka penjualan pakaian produksi lokal karena harga kalah bersaing. Dengan merosotnya permintaan produk lokal, maka menyebabkan penurunan produksi produk lokal, termasuk pengurangan tenaga kerja di dalamnya.
Baca juga : Lima Tips Jualan di Bulan Puasa agar Untung Maksimal
Kenya, salah satu negara yang telah mengalaminya. Pakaian bekas impor ilegal yang masuk secara masif ke sana mengakibatkan penurunan jumlah tenaga kerja pada industri tekstilnya. Beberapa dekade lalu, industri tekstil di Kenya mempekerjakan lebih dari 500 ribu orang. Namun, jumlahnya kurang dari 20 ribu orang saat ini. Dengan banyaknya pakaian bekas impor yang beredar di pasar, hal itu akan menghambat inovasi dan kemajuan industri fashion nasional, termasuk UMKM.
- Impor pakaian bekas ilegal berdampak buruk terhadap lingkungan
Pakaian bekas impor umumnya berasal dari negara maju yang didominasi oleh industri fast fashion. Pergantian tren fashion yang sedemikian cepat menyebabkan pakaian sering dibuang setelah hanya beberapa kali pakai. Limbah fashion inilah yang kemudian diimpor secara ilegal oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Seperti yang terjadi di Cile. Sebanyak 59 ribu ton sampah tekstil didatangkan dari berbagai penjuru dunia ke negara tersebut yang akhirnya menumpuk menjadi gunung di Atacama. Dengan mengimpor pakaian bekas secara ilegal ke Indonesia, tidak hanya memperburuk siklus konsumsi produk fashion, tapi juga menambah masalah limbah di negeri ini.
Oleh sebab itu, Teten mengatakan bahwa pihaknya bersama pemerintah sedang mengusut pelaku importir pakaian bekas ilegal yang menjual komoditas tersebut ke pasar Indonesia. Pasalnya, aktivitas dan pasar yang menjual pakaian bekas impor secara berlebih tersebut harus segera ditutup agar tidak semakin berdampak.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian juga menegaskan telah menyetop impor semua jenis barang bekas, tak terbatas pada produk tekstil dan alas kaki.
Daripada mendorong kultur thrifting pakaian bekas impor, lebih baik kita fokus pada upaya bangga belanja dan pakai produk buatan Indonesia, dan bersama-sama mempromosikan produk terbaik UMKM fesyen tanah air.