Horangi, perusahaan keamanan siber yang menyediakan solusi optimal untuk organisasi berbasis cloud di seluruh Asia Tenggara telah mengidentifikasi adanya ancaman keamanan siber dari infrastruktur cloud yang tidak terkonfigurasi dengan tepat.
Hal ini didasari analisis Horangi terhadap 285.000 scan yang dilakukan aplikasi multi-cloud Warden yang menjadi solusi Cloud Security Posture Management (CSPM) andalan mereka.
Temuan tersebut menyoroti bahwa dari 57.000 scan terdapat 20% kesalahan konfigurasi yang berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai vektor ancaman oleh pelaku ancaman keamanan siber.
Kesalahan konfigurasi ini umumnya mencakup akses unrestricted serta akses ilegal terhadap jaringan di dalam organisasi.
“Saat ini para pemimpin dan pemangku kepentingan di sektor IT perlu memfokuskan kembali tujuan dan investasi mereka pada kebijakan, access control, IAM, access management istimewa, pelatihan pengetahuan keamanan siber, endpoint protection, pencegahan kehilangan data, dan juga risiko supply chain untuk keamanan kerja jarak jauh guna mencegah terjadinya kebocoran dan serangan siber,” kata CEO dan Co-Founder Horangi, Paul Hadjy.
Baca juga : Kerja Jarak Jauh Jadi Sasaran Kejahatan Siber 2021, Berikut Hal yang Perlu Diperhatikan
Sebuah survey global dari JLL menunjukan bahwa 72% responden cenderung memilih melanjutkan kerja jarak jauh pasca-pandemi. Namun seiring hal itu, risiko terhadap serangan keamanan siber meningkat bersamaan dengan ruang kerja yang tersebar, meningkatkan ukuran, cakupan dan kerumitan dari infrastruktur keamanan siber.
Gartner melihat bahwa sebagian besar serangan yang terjadi pada layanan cloud dipengaruhi oleh kesalahan saat menyiapkan infrastruktur cloud. Hal ini meningkatkan risiko untuk kerja jarak jauh di masa yang akan datang.
Meningkatnya ketergantungan pada platform virtual dan metode komunikasi juga menimbulkan adanya peningkatan serangan phising dan ransomware yang mengarah ke hilangnya data personal dan data-data penting.
“Solusi seperti penggunaan CSPM dapat mengidentifikasi dan memperbaiki kerentanan secara proaktif, membantu perusahaan untuk meningkatkan risiko organisasi khususnya bagi yang sudah mengutamakan penggunaan cloud,” lanjut Paul Hadjy.
Baca juga: 3 Ancaman Yang Harus diPerhatikan Untuk Keamanan Data Pengguna Dunia Maya
Horangi yang baru saja mengantongi sertifikasi Kompetensi Keamanan Amazon Web Services dan Kompetensi Keamanan Sektor Publik, menargetkan untuk peningkatan pangsa pasar keamanan siber komputasi awan di Asia Tenggara yang menurut IDC berpotensi mencapai 40,32 miliar dolar AS pada tahun 2025.
Lebih lanjut, analisis dari Horangi itu juga mencakup berbagai kerentantan lain dalam infrastruktur cloud yang secara kolektif dapat memengaruhi postur risiko keamanan keseluruhan organisasi seperti manajemen identitas dan akses (IAM - Identity and Access Management), kontrol akses jaringan dan audit logging.
Terdapat dua kategori layanan yang tersedia bagi pengguna dalam memastikan keamanan cloud untuk aplikasi. Native Cloud Security yang ditawarkan oleh Penyedia Layanan Cloud (CSP - Cloud Service Provide) seperti Amazon Web Services (AWS), Microsoft Azure, dan Google Cloud Platform (GCP) dalam infrastruktur mereka saat ini.
Selain itu ada juga keamanan third-party yang merupakan solusi unik dari penyedia layanan non-CSP yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan dari yang sistem keamanan bawaan CSP.
Hadjy menambahkan perangkat Native Cloud Security mungkin tergolong cukup untuk bisnis dengan lingkungan cloud tunggal. Namun, opsi solusi keamanan siber dari pihak ketiga dapat menjadi pilihan yang lebih baik untuk organisasi yang perlu mengelola beban kerja cloud yang lebih besar, dan memiliki beberapa akun layanan cloud.
“Solusi keamanan cloud dari pihak ketiga dapat menambah nilai pada berbagai bisnis di internet yang kompleks dan sarat dengan aturan ketat seperti layanan keuangan, perawatan kesehatan, dan pemerintahan, sekaligus didukung penuh secara operasional untuk skala yang lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan bisnis,” kata Hadjy.