Damon Hakim, CEO Redcomm Indonesia
Brand yang memenuhi kebutuhan tersier adalah yang paling terpukul di masa pandemi ini. Pertumbuhan ekonomi yang terus melemah mendorong konsumen menempatkan pemenuhan barang tersier di urutan paling bawah. Merek barang-barang mewah (luxury brand) pun seakan kehilangan relevansi dengan target konsumennya.
Lalu bagaimana caranya untuk bertahan di masa-masa yang menantang ini?
Saat ini memang periode yang sulit bagi luxury brand. Secara global, konsultan manajemen bisnis Bain & Company memperkirakan penjualan brand luxury pada 2020 akan berkontraksi antara -15% sampai -35% dibandingkan tahun sebelumnya. Lebih lanjut, bisnis luxury brand diperkirakan baru akan pulih, kembali ke level sebelum pandemi, dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Namun di saat itu, peta dan lapangan permainan industri ini telah berubah.
Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu memperjelas apa yang dimaksud dengan luxury brand. Sebagai barang tersier, luxury brand bisa kita kategorikan sebagai barang-barang yang bisa dipenuhi kebutuhannya setelah pemenuhan kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Jadi, pakaian branded dan fashion bisa kita golongkan sebagai luxury brand dalam artikel ini.
Apa yang membuat brand bisa bertahan dan tetap relevan di masa krisis seperti pandemi ini? Mari kita definisikan dulu apa itu brand. Secara singkat, jika produk terdiri dari fitur dan fungsi yang memenuhi kebutuhan konsumen, brand terdiri dari sejumlah persepsi yang dibentuk dalam benak konsumen. Produk memenuhi kebutuhan fungsional, brand memenuhi kebutuhan emosional.
Dalam teori Hierarchy of needs dari Abraham Maslow, kebutuhan emosional ini berada di atas kebutuhan dasar --yakni fisiologis dan rasa aman. Kebutuhan emosional meliputi rasa sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Adalah luxury brand yang memenuhi kebutuhan emosional yang paling tinggi, yakni penghargaan dan aktualisasi diri. Ini adalah kebutuhan untuk membuktikan dan menunjukkan jati diri kepada orang lain.
Teori Maslow dan Luxury Brand
Di kala pandemi, bahkan konsumen luxury brand yang paling loyal dan royal sekalipun akan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Kebutuhan itu adalah kesehatan dan rasa aman dari jangkauan Covid 19. Luxury brand, dan bahkan mungkin semua brand, akan menjadi tidak relevan dengan konsumen ketika pesan komunikasinya masih tentang aktualisasi diri.
Pada awal-awal pandemi, sejumlah luxury brand global sudah menunjukkan kesigapan mereka menghadapi kondisi ini. Luxury brand di fashion ramai-ramai membantu dengan memproduksi masker wajah yang sempat menjadi barang langka. Mereka yang bergerak di bidang kosmetika ikut membuat cairan pembersih dan desinfektan dengan mengkonversi fasilitas produksinya. Masih banyak lagi luxury brand yang memberikan sumbangan kepada pihak-pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan penanganan Covid 19.
Kita akan dengan mudah bisa menemukan cerita-cerita tentang luxury brand yang memberikan sumbangsihnya terhadap penanganan pandemi ini. Upaya ini terkesan reaktif, tapi memang hanya cerita inilah yang bisa disampaikan oleh luxury brand dan bisa relevan dengan target audience.
Lalu bagaimana selanjutnya? Apa yang perlu dilakukan dalam jangka menengah dan panjang? WHO memprediksikan pandemi ini akan berlangsung lama hingga vaksin ditemukan. Luxury brand membutuhkan strategi komunikasi brand jangka panjang. Luxury brand membutuhkan narasi yang akan selalu relevan dengan target audience sekaligus mampu menopang bisnis.
Prioritas pada Pelanggan bernilai tinggi
Di antara berbagai pilihan aktivitas pemasaran, target audience dan channel komunikasi yang ada, luxury brand harus menetapkan prioritasnya. Prioritas harus diberikan kepada hal-hal yang dengan upaya kecil bisa mendatangkan impact yang paling besar. Bagi luxury brand, impact terbesar itu adalah hal-hal yang efektif bisa mengerem laju pertumbuhan negatif industri ini.
Sheryl Sandberg, Chief Operating Officer Facebook punya istilah khusus untuk ini: Ruthless Prioritization --prioritas yang tiada ampun. Berikan prioritas hanya pada hal-hal yang mendatangkan return terbesar dari investasi paling penting, yakni investasi pada waktu. Bagaimana menerapkannya pada bisnis luxury brand di saat pandemi?
Inti dari berbisnis adalah tentang pelanggan sementara penjualan adalah efek dari mendapatkan dan mempertahankan pelanggan. Dari semua aktivitas berkaitan dengan pelanggan tersebut, penerapan ruthless prioritization adalah pada mempertahankan pelanggan. Terutama para pelanggan utama bernilai tinggi.
Dalam hal mempertahankan pelanggan, luxury brand bisa dibilang sudah jagonya dibandingkan dengan brand di sektor lain. Sentuhan personal dengan layanan yang terkustomisasi sesuai profil pelanggan adalah makanan sehari-hari bagi luxury brand. Lihat saja WhatsApp para sales representatif di luxury brand, kita akan menemukan obrolan-obrolan yang akrab dengan para pelanggan.
Tantangan bagi luxury brand adalah di antara para pelanggan itu, manakah yang bernilai tinggi dan layak dapat perhatian khusus di masa pandemi ini. Mereka adalah pelanggan dengan skor CLTV (Customer Lifetime Value) tertinggi. Sudah banyak luxury brand yang menerapkan CRM (Customer Relationship Management) namun masih sedikit yang mengukur CLTV ini.
Secara singkat CLTV mengukur seberapa banyak seorang pelanggan membelanjakan uangnya untuk sebuah brand selama periode tertentu. Berbekal CLTV, luxury brand bisa memprioritaskan investasi waktu, biaya dan orang-orang hanya kepada pelanggan yang bernilai tinggi. Para pelanggan yang layak dipertahankan di tengah situasi pandemi ini.
Rumus CLTV adalah rata-rata nilai belanja, dikalikan rata-rata frekuensi berbelanja, lalu dikalikan rata-rata periode seseorang menjadi pelanggan. Idealnya, CLTV harus lebih besar daripada biaya akuisisi pelanggan dan biaya retensi per pelanggan.
Cause Marketing
Di masa pandemi ini, pelanggan lebih selektif dalam memprioritaskan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Untuk itu, luxury brand perlu mengevaluasi kembali apa yang menjadi Brand Purpose mereka. Brand Purpose sejatinya adalah raison d’etre --alasan kuat keberadaan sebuah brand yang lebih luas daripada menjual produk. Manfaat apa yang dibawa brand kepada konsumen dan masyarakat luas, selain memenuhi kebutuhan yang sifatnya transaksional.
Brand Purpose ini berbeda daripada Brand Promise. Brand Promise adalah ekspektasi konsumen dari produk atau jasa. Brand Purpose memberikan sesuatu yang lebih daripada brand promise. Brand purpose menyentuh konsumen di level emosional.
Untuk menemukan brand purpose, yang dibutuhkan adalah brand empathy. Lewat empati, brand masuk ke dalam pikiran dan perasaan konsumen. Brand memahami kesulitan yang dihadapi konsumen dari perspektif konsumen sendiri, lalu mengambil aksi untuk membantu. Hasil akhir dari empati adalah memberikan solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi konsumen luxury brand di masa pandemi ini.
Paling minimal, brand purpose dari luxury brand di masa pandemi adalah bisa menjadi sumber inspirasi dan menjadi saluran aspirasi yang relevan. Inspirasi dan aspirasi merupakan sentuhan emosional yang memang menjadi kekuatan luxury brand selama ini.
Luxury brand sudah lama menjalankan Cause Marketing, yakni aktivitas yang menghubungkan pemasaran atau penjualan dengan “cause” tertentu. Cause adalah sebuah tujuan besar, solusi atas sebuah problema yang lingkupnya menyentuh masyarakat luas. Misalnya, dengan membeli sebuah produk, konsumen berkontribusi pada pelestarian lingkungan.
Di masa pandemi ini cause marketing menjadi semakin relevan bagi luxury brand. Asalkan sesuatu yang menjadi ‘cause’ itu benar-benar menjadi solusi bagi masyarakat yang terdampak pandemi. Untuk menemukan cause yang relevan tersebut, kini saatnya bagi luxury brand untuk mengevaluasi kembali brand purpose mereka melalui pendekatan yang lebih berempati.
Mewujudkan omni-channel
Penjualan barang-barang luxury brand selama ini mengandalkan pada pendekatan high-touch secara tatap muka, terutama di Indonesia. Namun di masa pandemi ini konsumen membatasi mobilitas mereka. Kunjungan ke gerai luxury brand kurang mendapatkan prioritas dibandingkan dengan berbelanja kebutuhan pokok di supermarket.
Tak ada pilihan lain bagi luxury brand kecuali serius mewujudkan pengalaman omni-channel bagi para konsumennya. Omni-channel adalah strategi memberikan pengalaman pelanggan terbaik melalui saluran fisik maupun digital. Strategi omni-channel ini berbeda dari multi-channel, dimana brand membangun saluran fisik dan digital namun keduanya tidak berhubungan.
Dalam strategi omni-channel pengalaman di saluran digital akan mendukung dan memperkaya pengalaman di saluran fisik, dan sebaliknya. Jadi ada sinergi antara saluran ritel fisik dan digital. Saluran omni-channel menjadi kendaraan bagi semua aktivitas branding di masa pandemi.
Jadi strategi branding untuk luxury brand di masa pandemi ini bertumpu pada dua pondasi. Pondasi pertama adalah fokus mempertahankan basis pelanggan yang bernilai tinggi --diukur dari CLTV. Setelah basis pelanggan aman, barulah luxury brand bisa membangun pondasi yang kedua, yakni cause marketing.
Melalui cause marketing, luxury brand memiliki banyak amunisi narasi yang bisa menjaga brand affinity konsumen dalam jangka panjang. Pada saat situasi membaik, konsumen akan tetap mengingat brand yang menemani mereka melalui krisis ini.