Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan industri digital merombak seluruh tatanan kehidupan masyarakat, termasuk cara kita menikmati film.
Bioskop di Indonesia mengalami era keemasan yang cukup panjang. Perlu ditekankan bahwa industri bioskop tidak sama dengan industri film. Zaman keemasan industri bioskop bisa dibilang diawali dengan berdirinya Cineplex 21 Grup pada 1987. Namun seperti industri-industri brick and mortar lainnya, industri bioskop sepertinya mulai meredup sekitar tahun 2010.
Diawali dengan mulai maraknya TV berlangganan di Indonesia yang menyajikan beragam alternatif hiburan, termasuk film-film Hollywood, Bollywood, dan yang lainnya pada sekitar awal 2000-an.
Saat ini tercatat ada beberapa layanan OTT yang cukup populer seperti Netflix, HOOQ, Goplay, Iflix, VIU dan TV berlangganan yang cukup populer seperti First Media, MNC Sky Vision, TransVision, IndiHome dan Mola TV yang menjadi pesaing industri bioskop nasional.
Dikutip dari CNBC, berdasarkan data statistik, jumlah pelanggan Netflix dari Indonesia setiap tahunnya bertambah lebih dari dua kali lipat. Statista memproyeksi pengguna Netflix di Tanah Air bakal tembus 900 ribu orang di tahun ini.
Di dalam dunia distribusi film, blockbuster yang tayang di digital platform OTT kerap menjadi window kedua atau ketiga, namun kini trend itu berubah, platform digital menjadi pilihan utama dalam penayangan film.
Salah satunya bisa dilihat film berjudul Waiting for Barbarians. Hollywood melirik digital platform digital MOLA TV milik Indonesia untuk menjadi tempat tayang perdana film Waiting for Barbarians.
Film yang berdurasi 1 Jam 52 Menit ini, memuat cerita mengenai gambaran imperialisme dan kolonialisme yang mengubah kehidupan manusia dengan latar belakang peristiwa pada abad 19 di wilayah Asia.
Disini Johnny Depp (Kolonel Joll) bersama bawahannya Robert Pattinson berperan sebagai polisi kejam yang bertugas menyelesaikan pemberontakan.
Hakim pemerintah kolonial yang diperankan Mark Rylance, mulai mempertanyakan kesetiaannya kepada penguasa sejak Kolonel Joll datang. Sang hakim merasa tidak perlu menggunakan aksi kekerasan karena tidak ada tanda-tanda penduduk setempat akan memberontak.
Meski sudah diprotes, Kolonel Joll tetap bersikeras menahan dan menyiksa banyak penduduk lokal yang tidak bersalah.
Film bergenre drama ini tayang serentak di seluruh dunia pada Jumat, 7 Agustus 2020 kemarin. Bagi penonton dalam negeri, film Waiting for the Barbarians bisa disaksikan di platform MOLA TV.
Apakah nasib bioskop akan sama dengan warung telepon? Ups..
Jika film baru bisa ditonton dengan bermodal data internet saja, lalu apa bioskop akan bernasib sama dengan warung telepon (wartel) yang dulu sempat menjadi tujuan utama ayah bunda kita meluapkan rindu?
Sama halnya dengan warung telepon (wartel) bioskop menjadi tempat tujuan dua sejoli untuk melampiaskan hasrat rindunya. Malam mingguan gitu lah maksudnya..
Dengan layar lebar dan suara yang menggelegar, bioskop menjadi pilihan masyarakat dari kaum muda sampai Opa Oma untuk menonton film baru. Tapi, efek layanan OTT atau TV Streaming yang mulai merajalela, bioskop terancam bernasib sama kayak wartel.
Dikutip dari databook, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menargetkan jumlah penonton film bioskop di Indonesia pada 2019 mencapai 60 juta penonton. Angka tersebut naik 15,4% dari tahun lalu yang mencapai 52 juta penonton.
Namun dengan naiknya jumlah penonton di tahun yang sama, sepanjang kuartal IV-2019 atau empat bulan terakhir tahun 2019, jumlah pelanggan Netflix mengalami penambahan hingga 8,8 juta.
Kecanggihan teknologi tidak menutup kemungkinan menggulung tikar sang perusahaan tradisional. Kemudahan dan kecepatan akses, menjadi pilihan masyarakat untuk beralih malam mingguan di depan layar gadget atau laptopnya.
Mirwan Suwarno CEO Mola TV, mengatakan masih ada tiga film Hollywood lagi yang akan tayang perdana di MOLA TV, hal ini menunjukan keseriusan industri film untuk merilis karya-nya kedalam platform OTT atau TV streaming.
Membahas desas-desus nasib Bioskop di Indonesia, founder dan Direktur Utama Brand Media Indonesia, sebuah agensi brand publishing, Bimo Setiawan mengatakan, layanan OTT/ TV streaming tidak akan menggantikan bioskop,selama pembagian jadwal tayang perdana masih dipegang perusahaan bioskop.
“Ada pengaturan jadwal tayang antara bioskop dan layanan OTT, saat ini yang terjadi pun seperti itu jika pihak OTT sudah tidak lagi berpihak, itu mungkin ada pengaruhnya,” katanya.
Belum tahu bagaimana kelanjutan nasib bioskop Indonesia, yang perlu digaris bawahi euforia dan kebiasaan masyarakat menonton menjadi alasan lain bioskop tetap bertahan di gelombang layanan OTT/ TV Streaming. Bimo menjelaskan kedua layanan tersebut akan tetap ada karena habbit yang berbeda.
“Tidak akan menggantikan, karena menurut ku OTT hanya menggantikan cara orang menonton, mestinya masing-masing akan tetap ada, hanya tinggal konsumsinya akan seperti apa. Jadi tidak akan membuat bioskop turun peminat, karena menurutku bioskop memiliki habbit yang berbeda” tutupnya.
Untuk saat ini, kekhawatiran punahnya bioskop mungkin sudah terjawab, namun jika ada perebutan diantara medium tersebut entah bagaimana kabar bioskop selanjutnya, mari kita pantau “dji sam soe” tahun lagi, sambil nonton film si bapak ganteng Johnny Depp.