Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau. Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia pada 2019 diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa.
Dengan jumlah populasi sebanyak itu, Indonesia memiliki berbagai macam budaya, termasuk berbagai jenis makanan, bumbu, dan rempah asli. Beberapa contoh hidangan Indonesia yang diakui sebagai hidangan terbaik dunia antara lain Rendang, Sate, dan Nasi Goreng.
Menurut Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), kuliner yang menjadi salah satu sub sektor ekonomi kreatif memberikan kontribusi yang cukup besar sekitar 30% dari total pendapatan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif itu sendiri. Dengan total pendapatan yang besar ini, industri kuliner di Indonesia mempunyai potensi yang sangat kuat untuk inovasi dan investasi agar terus berkembang.
Baca juga: Bekraf Upayakan Akselerasi Ekosistem Ekonomi Kreatif
Potensi besar yang dimiliki industri kuliner di Indonesia tak luput dari permasalahan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah transformasi ke digital. Permasalahan lainnya pernah dikatakan Talita Setyadi, founder BEAU, "Banyak orang yang tidak sadar atas treasure atau harta karun (rasa asli) yang dimiliki Indonesia."
Bekraf juga mencatat perlunya akses perizinan usaha melalui satu pintu karenahal ini diperlukan agar lebih mudah dan efektif. Selanjutnya, para pelaku industri kuliner juga memerlukan panduan, ketersediaan informasi, pelatihan, pendampingan hukum dalam proses pendirian usaha dan mendapatkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI), hingga promosi ke pasar domestik dan luar negeri.
Baca juga: Ekonomi Kreatif Sumbang Rp922 Triliun, Startup Salah Satu Motornya!
Axton Salim, Executive Director Salim Group juga menambahkan bahwa permasalahan finansial juga kerap terjadi di kalangan startup kuliner. Sebagai contoh, Lintang Wuriantari, Chief Tea Officer Matchamu mengatakan, "Startup mengurusi semuanya. Permasalahan seperti finansial, distribusi, dan pemasaran mau tidak mau harus dihadapi."
Baca juga: Peluang Startup Kuliner Dilirik Investor Terbuka Lebar
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, industri kuliner Indonesia sedang mengalami pertumbuhan sehingga potensi dan peluangnya sangat besar. Menurut Fadjar, bukan hanya potensi industri dan peluang bisnisnya yang besar tapi potensi anak muda pegiat startup kuliner pun juga besar.
Oleh karena itu, Pemerintah tidak mungkin membangun ekosistem sendiri. Untuk mempercepat terjadinya "Rasa Indonesia yang Mendunia", kegiatan dari A hingga Z pun harus dilakukan dengan kerjasama berbagai pihak agar dampaknya meluas.
Sama halnya bagi para pelaku industri kuliner, khususnya para pegiat startup kuliner: tak mungkin mereka mengembangkan bisnisnya sendiri. Seperti yang telah dilakukan oleh Lintang bersama Matchamu di mana perkembangan Matchamu tidak hanya terbantu melalui satu ekosistem saja.
Baca juga: Kolaborasi Untuk Menang? Harus!
Lintang menambahkan setiap ekosistem memiliki peran atau menjadi support system yang berbeda. Dengan menjalankan kolaborasi semacam ini, berbagai permasalahan yang dihadapi sebuah startup, seperti permodalan, sertifikasi, dan perizinan pembuatan perusahaan dapat terbantu.
Selain kolaborasi, Lintang juga menekankan perlunya komitmen yang kuat untuk mencapai target yang diinginkan. Hal ini supaya startup kuliner yang dijalankan dapat terus berkembang.
Baca juga: Kolaborasi Bisa Menangkan Kompetisi? Pasti!
Adanya permasalahan, potensi, dan peluang di industri kuliner Indonesia, dijawab dengan terbentuknya Food Innovation dan Knowledge Hub pertama di Indonesia bernama Accelerice Indonesia.
Memang Bekraf lebih dahulu meluncurkan Program Food Startup Indonesia tahun 2016 tapi kembali ke permasalahan yang telah disebutkan di atas: permasalahan tidak bisa dihadapi sendiri tapi semua bisa dilakukan dengan kolaborasi.
Charlotte Kowara, Chief Empowerment Officer Accelerice mengatakan hadirnya akselerator ini bukan hanya membantu membangkitkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia, tapi juga membantu inovasi dan menjadikan startup kuliner di Indonesia siap untuk bersaing di kancah global.
Keren, kan? Jelas, produk yang dihasilkan pun harus dapat terjangkau dan bernutrisi.
Baca juga: Pilih Mana: Akselerator atau Inkubator?
Dalam program ini, startup akan mendapatkan edukasi untuk meningkatkan usahanya. FSIA akan diadakan beberapa kali dalam setahun dengan maksimal 30 startup kuliner pada setiap angkatannya yang berlangsung selama 3,5 bulan.
Startup kuliner yang ingin bergabung dalam FSIA harus telah menjalankan usahanya setidaknya 6 bulan. Kabar baiknya, fasilitas yang dimiliki Accelerice Indonesia di Kuningan, Jakarta Selatan dapat digunakan untuk siapa saja yang ingin belajar.
Tertarik bergabung? Akses informasinya di sini, ya, Gaess...
Baca juga: 5 Startup Ini Ikutan Akselerator Digitaraya, Siapa Saja?