Pasti kamu sudah akrab dengan film-film garapan Pixar Animation Studios yang selalu ngehits banget. Sebut saja Toy Story, Finding Nemo, Up, Monster.Inc, Inside Out, Ratatouille, Brave, dan Coco. Yap, Salah satu rumah produksi film raksasa Hollywood ini memang ahli membuat film-film berkualitas yang mampu menarik simpati penggemar film animasi.
Selain dikenal sebagai perusahaan yang kerap melahirkan banyak film animasi yang keren, film-film keluaran Pixar biasanya memiliki konsep cerita unik dan out of the box. Biasanya mereka selalu menyisipkan peran moral dengan karakter-karakter unik dan mampu menyentuh hati penonton.
Contohnya Toy Story yang dirilis tahun 1995. Film ini bercerita tentang tokoh utama boneka koboi bernama Andy. Ide ceritanya sangat brilian tentang boneka dan mainan yang menjadi hidup dan mempunyai perasaan. Konsep cerita Toy Story yang unik tersebut menarik simpati para penggemar film, bahkan sukses menyabet piala Oscar.
Baca juga: Docs By The Sea Harapan Baru Sineas Film Dokumenter Indonesia
Film garapan Pixar yang lain seperti Finding Nemo, Up, Monster.Inc, Inside Out, Ratatouille, Brave, Coco, termasuk film-film pendek lainnya juga tak kalah keren. Setiap film memiliki konsep yang unik dan selalu disisipi pesan yang ngena banget bagi penonton.
Baru-baru ini Pixar kembali menelurkan film terbarunya yang berjudul Purl yang termasuk dalam proyek SparkShoots. Film pendek berdurasi 8 menit tersebut didistribusikan secara online dan bisa dinikmati secara gratis oleh khalayak.
Sama dengan film-film Pixar sebelumnya, Purl memiliki pesan moral tersembunyi yang menyindir budaya kantor. Wah kamu penasaran kan apa pesan di film Purl? Simak ulasan berikut...
Baca juga: Mau Bikin Startup? Tonton Dulu 5 Film Ini
Film animasi Purl dibuka dengan adegan yang memperlihatkan suasana kantor perusahaan BRO Company yang sangat maskulin. Di semua sudut kantor terlihat pegawai yang semuanya laki-laki. Mereka memakai setelan kemeja, jas, dan berdasi. Semua orang berbicara tentang topik dan humor yang sangat khas laki-laki.
Kemudian datanglah Purl, sebuah bola yang terbuat dari benang rajut berwarna pink. Purl datang sebagai pegawai baru dengan membawa peralatan kerja yang hampir semuanya dihiasi dengan rajutan yang cantik dan imut. Ia memiliki semangat dan harapan yang tinggi di kantor tersebut.
Namun sayangnya, tidak ada yang peduli pada Purl. Ia segera saja dikucilkan oleh semua pegawai laki-laki di kantor tersebut. Kehadirannya dianggap sebuah mismatch. Ia sengaja ditinggalkan saat makan siang, banyak rekan kerjanya mengejek karena ia berbeda, dan pendapatnya diabaikan saat meeting.
Baca juga: Bekraf Sukses Gelar Akatara, Forum Pendanaan Film Pertama di Indonesia
Saat Purl mengajukan pendapat, rekan kerjanya segera menolak idenya dengan berkata, “You’re being too soft. We gotta be aggressive hell!” Ide Purl dianggap terlalu lembut dan tidak cocok dengan karakter perusahaan.
Karena ingin diterima oleh rekan-rekan kerjanya, Purl kemudian mengubah dirinya menjadi ‘laki-laki’. Ia memakai setelan jas dan kemeja, berbicara dengan suara berat, dan mengatakan humor-humor seksis layaknya laki-laki. Purl pun segera diterima oleh rekan kerjanya yang lain. Ucapannya didengar, opininya diperhatikan, dan ia juga diajak makan siang.
Hingga kemudian datang bola benang baru bernama Lacey ke BRO Company. Awalnya Lacey si bola kuning tersebut juga mendapat perlakuan negatif, sama seperti yang dialami Purl dulu. Purl pun bingung memutuskan apakah dia akan melanjutkan aksinya agar diterima atau bergabung dengan Lacey?
Baca juga: Ulah Para Entrepreneur Dongkrak Film Crazy Rich Asians
Perempuan memang kerap diberi stereotip sebagai makhluk yang lembut. Demikian pula di kantor yang didominasi laki-laki, peran dan ide perempuan seringkali direduksi dan dianggap kesekian. Purl yang berwarna pink dengan benang-benang rajutnya seolah mewakili sisi feminin melawan dominasi budaya maskulin.
Hal inilah yang kiranya hendak disampaikan oleh penulis dan sutradaranya, Kristen Lester. “Purl berdasarkan pengalaman saya dalam dunia animasi,” kata Lester dikutip dari Fast Company, Senin (11/2). “Dalam pekerjaan pertama, saya menjadi satu-satunya wanita di ruangan itu. Dan untuk melakukan hal yang saya sukai, saya berusaha menjadi semacam pria,” ujarnya.
“Kemudian saya datang ke Pixar dan mulai bekerja dalam tim dengan wanita untuk pertama kalinya. Itu benar-benar membuat saya menyadari betapa banyak aspek perempuan dari diri saya yang telah saya kubur dan tinggalkan,” tambahnya.
Baca juga: Bekraf Tandatangani MoU dengan Asosiasi dan Komunitas Kreatif
Film Purl mengajarkan pada kita agar selalu menjadi diri sendiri dan tidak ikut terbawa arus. Purl akhirnya memilih menanggalkan setelan jasnya dan kembali menjadi bola benang pink. Purl bergabung dengan Lacey dan memberi warna pada perusahaan.
Di akhir film, tidak hanya Purl dan Lacey saja: kini BRO Company dihiasi oleh bola benang warna-warni yang turut menyemarakkan kantor dan mewarnai budaya kantor menjadi lebih seimbang dan tidak bias gender.
Kita tidak perlu menjadi orang lain hanya untuk diterima di kantor, keluarga, pergaulan, ataupun dalam lingkungan bermasyarakat. Kita merupakan individu yang berbeda dan memiliki karakter serta kekuatan masing-masing. Sudah seharusnya keragaman tersebut dirayakan dengan cara yang asyik.
Kamu pernah mengalami seperti yang Purl alami?
Baca juga: Sumbangan Film Bagi PDB Jadi Terbesar Kedua