Berdasarkan data statista pada Juni 2018, beberapa startup Indonesia berhasil mendapatkan pendanaan investor hingga mencapai USD 500 juta. Tiga peringkat teratas diduduki oleh Tokopedia, Go-Jek, dan Traveloka. Untuk mendapatkan pendanaan sebesar itu, berbagai pahit dan manisnya proses berbisnis harus dilalui dengan berani.
Semakin besar pendanaan yang didapatkan sebuah startup, semakin besar juga potensi bisnis sukses. Besarnya pendanaan dapat menjadi salah satu tolak ukur kesuksesan sebuah startup.
Secara umum, ada 3 tahapan pendanaan startup yang dikenal banyak orang.
Pertama, Bootstrapping. Tahap ketika startup mendanai aktivitasnya dengan modal yang dimiliki sendiri. Kedua, Seed, pendanaan tahap awal. Tahap ini merupakan pembuktian bahwa ide bisnisnya dapat diterima, setidaknya oleh investor. Ketiga adalah Series A, B, C, dan seterusnya. Tahap ini merupakan tahan pendanaan lanjutan. Pendanaan yang lebih besar dapat berasal dari modal ventura hingga sebuah startup dapat melanggeng ke bursa saham.
Baca juga: 5 Tahapan Pendanaan Startup
Menurut Joshua, sebelum memasuki tahap pendanaan Series A, sebuah startup harus sudah mempersiapkan tim manajemen karena kebutuhan perusahaan semakin bertambah. "Hal tersulit bukanlah membuat produk tapi membuat perusahaan. Kita harus berpikir bagaimana membangun sebuah tim, company culture, dan nilai-nilai yang bisa dijual ke masyarakat dan investor," tambahnya.
Laki-laki lulusan jurusan sistem informasi di Binus University, Jakarta itu juga mengatakan bahwa ketika tahap pendanaan meningkat, bukan hanya perusahaan yang harus 'naik kelas' tapi juga founder dan CEO-nya. Hal ini sangat penting karena founder dan CEO juga harus beradaptasi.
Baca juga: Ini Kualitas Founder Startup Anti Gagal
Laki-laki kelahiran Surabaya, Jawa Timur itu membuat perusahaannya melangkah ke Series A pertengahan tahun 2016. Menurutnya, ada 3 hal yang harus diperhatikan untuk melangkah ke pendanaan Series A, khususnya bisnis media, supaya investor yakin terhadap perusahaan. Pertama yaitu pembaca di situs web dan aplikasi, bukan follower di media sosial. Kedua pendapatan perusahaan, bagaimana memonetisasi platform. Terakhir brand, seberapa kuat brand yang dimiliki hingga investor tertarik.
Winston mengatakan, "Dari tahap pendanaan Seed ke Series A adalah hal yang tersulit buat kami. Waktu itu durasinya satu tahun tapi kami kehabisan uang di akun bank. Akhirnya kami minjam dari sana-sini. Itu salah satu kesalahan kami."
Baca juga: Literasi Keuangan Hambat Fintech. Apa Solusinya?
Ia sepakat dengan pendapat Joshua bahwa ketika memulai suatu bisnis, seorang founder adalah product in chief, mengurus bagaimana produk dapat diterima oleh masyarakat. Tetapi, ketika perusahaan sudah membesar, seorang founder menjadi company in chief, mengurus terbentuknya tim yang baik, revenue, dan lain-lain yang menunjang berkembangnya perusahaan.
Selain itu, Joshua mengatakan bahwa setiap startup yang ingin melangkah dari pendanaan Seed ke Series A tidak boleh sama sekali meremehkan proses. Ia malah pernah sampai tidak membayar asuransi BPJS kepada karyawan karena perusahaannya terbelit hutang. Menurutnya, terkadang setiap founder merasa bahwa startup yang dimiliki berkembang baik tapi kenyataannya banyak menemukan permasalahan kecil yang harusnya tidak perlu dijumpai. Pendanaan yang didapat juga harus digunakan dengan bijak. "Pastikan kita tahu apa yang kita lakukan," tambahnya.
Belajar dari kedua founder di atas, kuncinya adalah jangan pernah menyerah.
Terus bangun bisnismu supaya dapat pendanaan yang lebih baik, ya!
Baca juga: Sarat Insentif dan Minim Regulasi, Itu yang Dibutuhkan Startup dari Pemerintah!