Pertumbuhan ekonomi digital telah membawa resiko bagi konsumen terkait privasi pribadi. Dengan data yang diberikan konsumen saat berbelanja online, perusahaan bisa menggunakan data tersebut untuk kepentingan pemasaran bahkan menjual data konsumen tersebut ke pihak lain.
Dilansir dari Al Jazeera (Senin, 02/10), sebuah perusahaan di Amerika Serikat yang tidak disebutkan namanya telah menghasilkan lebih dari USD 42 miliar atau setara dengan Rp. 568 triliun dari menjajakan dan menjual data konsumen ke banyak e-commerce dan penjual online pada tahun 2013.
Menanggapi hal ini, Komisi Uni Eropa memunculkan undang-undang privasi internet yang jauh lebih ketat daripada Amerika Serikat, terutama mengenai perlindungan data konsumen dan bahkan dalam hal aktivitas media sosial. Media sosial seperti Facebook dan Google juga dibatasi di Eropa.
Komisi Uni Eropa secara resmi telah mencanangkan program Privacy Shield yaitu kesepakatan yang dibuat antara Departemen Perdagangan AS dengan Komisi Uni Eropa untuk menyediakan perusahaan di kedua sisi Atlantik dengan mekanisme mematuhi perlindungan data saat mentransfer data pribadi dari Uni Eropa ke Amerika Serikat.
Undang-undang tersebut mensyaratkan bahwa semua konsumen harus memberikan izin eksplisit kepada perusahaan untuk menggunakan data yang disediakan oleh mereka secara online. Komisi Uni Eropa akan memastikan program tersebut benar-benar memberikan perlindungan data pribadi milik warganya dan rencananya akan diimplementasikan pada tahun 2018.
Kristina Irion, peneliti senior di Institute for Information Law di University of Amsterdam menyatakan mendukung langkah-langkah perlindungan data konsumen oleh Komisi Uni Eropa.
“Data pribadi adalah inti dari hampir semua aktivitas ekonomi saat ini. Di Uni Eropa, perlindungan data adalah hak mendasar. Kita memerlukan perlindungan semacam itu agar menjadi kokoh dan berlaku,” kata Irion.