Entrepreneurship memiliki bermacam bentuk, salah satunya adalah Social Entrepreneuship atau Sociopreneurship. Konsep ini biasa diartikan sebagai konsep kewirausahaan yang memanfaatkan peluang bisnis yang ada di tengah masyarakat untuk kembali memberikan dampak positif bagi masyarakat luas.
Bagi kamu yang masih bingung dengan sociopreneurship, konsep ini berbeda dengan organisasi sosial non-profit karena pelaku social entrepreneurship, yang biasa disebut sociopreneur, tetap mencari keuntungan dari kegiatannya. Mereka tidak hanya fokus pada keuntungan semata, tetapi juga pada aspek sosial yang ada di masyarakat.
Fenomena ini bukan barang baru di era digital seperti sekarang. Dengan kemudahaan akses teknologi dan informasi, berbagai macam sociopreneurship mulai bermunculan di tengah masyarakat untuk menjawab permasalahan yang ada.
Salah satu sesi pada Ideafest 2018 di Jakarta, (27/10) bertajuk "SE Rockstar Class: Social Inovation Heroes" menampilkan 5 jenis sociopreneurship yang memberi manfaat kepada masyarakat dengan caranya masing-masing.
Baca juga: Travel Startup, Cari Peluang Sekaligus Beri Manfaat
Pertama, WeCare.ID, platform penggalangan dana bagi pasien yang memiliki keterbatasan finansial, tinggal di wilayah terpencil, dan belum menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) atau yang kepesertaannya sudah tidak aktif. "Kami mendirikan WeCare.ID karena menganggap setiap individu berhak atas pelayanan kesehatan yang sama," ujar Mesty Ariotedjo, Co-Founder and Medical Operationnya.
Platform ini bekerja sama dengan para dokter untuk menghubungkan para calon donatur dengan para pasien sehingga mereka dapat memperoleh pengobatan dan fasilitas pendukung lainnya secara menyeluruh. Hingga saat ini, sudah sekitar 500 pasien tertolong oleh bantuan dari sekitar 2.500 pengguna WeCare.ID dengan total donasi mencapai Rp5 Miliar.
Platform yang diluncurkan 3 tahun lalu itu juga menawarkan layanan untuk menjadi donatur tetap yang bernama SEHATI. Dengan berlangganan, pengguna akan mendapatkan berbagai layanan kesehatan jangka panjang seperti konsultasi kesehatan gratis, dokter datang ke rumah, dan diskon pemeriksaan lab.
Baca juga: Digihealth, Masa Depan Dunia Kesehatan
Kedua, BEAU, toko roti artisan dan pastry di Jakarta Selatan yang didirikan oleh Talita Setyadi. Bahan-bahan yang digunakan untuk produknya berasal dari Indonesia. Ia terinspirasi dari perjalanannya ke berbagai belahan dunia. "Tidak sedikit baker di Indonesia yang gitu-gitu aja. Ketika ada tren rasa red velvet, semua ikut. Banyak yang tidak sadar atas treasure yang dimiliki Indonesia," ujar Talita.
Perempuan yang pernah menempuh pendidikan chef di Perancis itu tidak hanya ingin fokus berjualan saja. Ia ingin menumbuhkan talenta yang ada di masyarakat dengan cara membagikan passion dan ilmu yang dimilikinya. "Minat masyarakat terhadap pembuatan roti artisan meningkat tapi mereka tidak tahu harus belajar kepada siapa. Oleh karena itu, saya tidak takut memperlihatkan resep yang pernah saya dapatkan dan proses produksi kepada masyakat pelanggan yang datang ke toko saya," tambahnya.
Dengan mendirikan BEAU, Talita berharap bahwa baker atau pembuat roti tidak lagi dianggap sebagai profesi yang tidak bernilai. Ia juga berharap, baker-baker di Indonesia menjadi baker berstandar intenasional yang mengedepankan kreativitas tanpa menjiplak tren yang ada.
Baca juga: Industri Kopi Tak Luput Juga Dari Revolusi
Ketiga, Du'Anyam, adalah wirausaha sosial yang menjual produk kerajinan tangan anyaman berbahan dasar daun lontar asal Nusa Tenggara Timur (NTT). Tahun 2014, mereka mulai proyek pertamanya di Kota Larantuka, NTT. Berawal dari permasalahan kesehatan ibu dan anak, mereka memanfaatkan tradisi mengayam daun lontar untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat sekitar.
"Di Flores, puskesmas memang sudah digratiskan tapi permasalahan lainnya adalah akses orang-orang untuk mencapai puskesmas masih sulit. Untuk biaya fotokopi saja, kadang mereka tidak punya uang. Kami mendirikan Du'Anyam supaya mereka juga memilki penghasilan tambahan," ujar Hanna Keraf, Co-Founder and Chief of Community Development Du'Anyam.
Hanna juga mengatakan, "Awal kami berdiri, pemerintah sedang menggalakan ekonomi kreatif. Ibu-ibu di Flores sudah memiliki skill, bahan baku daun lontar juga sangat mendukung. Tetapi, kualitas produk harus ditingkatkan supaya dapat bersaing dengan pasar modern. Oleh karena itu, kami bekerjasama dengan mereka, memberikan pelatihan supaya produk dan layanan mereka memiliki kualitas tinggi".
Hingga saat ini, Du'Anyam telah memperdayakan sekitar 22 desa di Flores, NTT. Produknya telah dipasarkan di banyak hotel di Bali, Jakarta, dan terakhir menjadi salah satu official merchandise Asian Games 2018.
Baca juga: Bisnis Anyaman Ini Berdayakan Emak-emak Flores
Keempat, Kerjabilitas, platform yang menghubungkan pencari kerja disabilitas dengan penyedia kerja di Indonesia. Pelamar harus melakukan registrasi terlebih dahulu dengan cara melengkapi profil lalu mengunggah CV dan foto dirinya. Penyandang disabilitas tidak hanya sekadar mencari pekerjaan, tetapi juga bisa menyuarakan opini mereka dalam forum komunikasi terkait isu-isu yang ada di sekitarnya.
"Kami bekerja sama dengan perusahaan melalui 3 pendekatan: orang dengan disabilitas sangat kreatif, problem solver, memiliki work ethic dan kesetiaan pada perusahaan yang tinggi," ujar Tety Sianipar, Co-Founder and CTO Kerjabilitas.
Kerjabilitas tidak hanya hadir online, mereka juga memberikan pelatihan kepada penyandang disabilitas yang ingin bekerja, bekerja sama dengan perusahaan dalam pengadaan juru bahasa isyarat, dan melakukan pengecekan gedung perusahan, apakah sudah ramah penyandang disabilitas atau belum.
Tety juga mengatakan, "Kerjabilitas dapat dibilang sukses kalau platform ini sudah tutup. Kalau platform pencari kerja lainnya sudah membuka akses untuk penyandang disabilitas, kami tidak perlu lagi menjadi yang eksklusif. Oleh karena itu, setiap hari kami merayakan kemenangan kecil kemanusiaan. Jika mereka, teman-teman bisa, maka kita semua juga pasti bisa."
Baca juga: Bangun Bisnis Sambil Perjuangkan Hak Disabilitas? Bisa!
Kelima, Wangngara, startup energi yang fokus terhadap energi matahari. Berawal dari sulitnya mendapatkan akses listrik di Sumba, Nusa Tenggagara Timur (NTT), startup ini bertujuan menghasilkan energi matahari di Wanokaka, Sumba Barat, NTT.
Mereka melibatkan para pemangku kepentingan dari masyarakat lokal, pihak swasta, dan pemerintah untuk mengembangkan sebuah desa energi yang independen. Sekarang, startup energi terbarukan ini sedang mengikuti program inkubator Digitaraya. "Dengan adanya ketersediaan energi, masyarakat bisa meningkatkan produktivitasnya," ujar Monicha Lelly, Founder Wangngara.
Kamu punya cita-cita yang serupa?
Baca juga: Mikir Dong, Startup Jangan Cuma Cari Profit!