Generasi yang lebih muda, memiliki sikap, preferensi, dan pandangan yang berbeda dari generasi pendahulu. Pandangan dan sikap hidup ini di satu sisi akan menentukan etos kerja di perusahaan, dari sisi lain menentukan sikap konsumen dan lansekap bisnis di masa mendatang.
Pada tahun 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326 jiwa. Statistik menunjukkan dari jumlah penduduk sebanyak itu, dua pertiga di antaranya berusia di bawah tiga puluh lima tahun. Lebih dari itu, sekitar lima puluh lima persen di antaranya merupakan warga negara dengan tingkat sosial ekonomi kelas menengah. Lalu, bagaimana sikap dan pandangan hidup kelompok ini?
Mereka adalah kelompok anak muda yang ingin “dianggap eksis”. Mereka tidak ingin dianggap hanya sekedar pelengkap dari segala sesuatu yang selama ini harus ditentukan oleh orangtua. Tak heran bila oleh sebagian orangtua, kelompok ini dirasa sebagai kelompok “pemberontak”. Padahal kadang-kadang anak muda ini hanya sekadar ingin membuat sesuatu berbeda dari apa yang diperbuat oleh mereka yang lebih tua.
Kelompok ini adalah kelompok yang tidak mudah memahami banyak hal yang bisa dan biasa dilakukan oleh orangtua mereka. Misalnya, sabar bekerja berpuluh tahun di satu tempat. Sabar bekerja dalam kondisi susah Bersama pemegang saham pemilik perusahaan selama bertahun-tahun sebagai bagian dari perjuangan menuju jenjang karier lebih baik. Anak muda ini tidak dengan serta merta menyukai cerita perjuangan ayah mereka atau susah payah orangtua mereka zaman dulu. Mereka mempunyai definisi sendiri tentang perjuangan hidup. anak-anak ini tidak habis pikir mengapa orangtuanya begitu merasa memiliki perusahaan, sampai-sampai melebihi perasaan pemilik perusahaan, padahal orangtuanya tak punya selembar saham pun.
Orangtua zaman dulu dibesarkan dalam suasana dan situasi berbeda. Jumlah dan intensitas arus informasi tidak seheboh hari ini. komunikasi tidak seinstan saat ini. Akibatnya, hidup mungkin terasa lebih susah. Tingkat survival anak zaman dulu relatif lebih besar, karena alat bantu teknologi tidak secanggih hari ini. Hidup zaman dulu harus lebih repot. Mengepel rumah, mencuci baju, memasak makanan pasti lebih repot dari hari ini. Menyetrika baju supaya licin harus diberi cairan sagu pada cucian baju. tidak seperti hari ini tinggal semprot-semprot, setrika, dan baju sudah licin. Sepeda dan becak masih menjadi transportasi utama. Akibatnya, mobilitas jarak sangat terbatas, dan waktu tempuh jauh lebih lama.
Kalau zaman dulu guru memberi pelajaran mengarang, maka mencari bahan merupakan kerumitan tersendiri. Orang zaman dulu yang mempelajari ilmu pembukuan dan akuntansi, tidak kenal kalkulator, komputer, atau program excel. mereka harus menghitung sendiri satu angka demi satu angka. jika salah menghitung satu angka saja, maka semua perhitungan harus diulang kembali dan merombak seluruh hitungan dari awal. Membuat neraca berlajur-lajur harus di garis satu per satu dalam buku besar, dan dicocokkan satu halaman demi satu halaman, lajur demi lajur, kolom demi kolom secara manual. Belajar statistik bukan hanya sekadar mengerti bagaimana mengartikan angka setelah semua perhitungan selesai. Menerapkan dan memakai semua perhitungan dan rumus-rumus yang berserakan menjadi kesulitan awal sebelum menemukan hasil akhir. Angka demi angka harus dihitung setahap demi setahap. tak heran bila tingkat kerepotan hidup zaman dulu memang sudah menjadi kebiasaan yang dialami sejak seseorang masih dalam usia anak-anak. secara tidak sadar, ini menempa anak-anak zaman dulu untuk lebih ulet dan lebih keras memperjuangkan sesuatu guna bertahan hidup.
Baca juga: Pikat Milenials dengan Trik Ini
Bukan hanya dalam urusan pekerjaan. Generasi yang lebih muda ini pun mempunyai pandangan dan sikap hidup yang berbeda dalam urusan keseharian. Menghormati orangtua untuk generasi yang lahir tahun 1950-an sama sekali berbeda cara dengan generasi yang lahir tahun 2000-an.
Bagi generasi yang saat ini berusia 50 tahun ke atas, memahami hormat pada orangtua adalah sesuatu yang absolut. Orangtua zaman itu bahkan cenderung otoritarian. Dalam soal makanan, misalnya, bagian terbaik biasanya diberikan untuk ayah, karena ayah disebut kepala rumah tangga yang menjadi pencari uang. Jika kita buka buku pelajaran membaca zaman dulu, yang tertulis di sana adalah, “Ayah pergi ke kantor, Ibu pergi ke pasar”. Kalau ayah membaca koran, Ibu “harus” menanak nasi atau menjahit baju.
Jadi, sepertinya secara kultural sudah jelas. Job description ayah zaman dulu cari duit, sementara ibu membereskan urusan rumah. Zaman dulu nyaris tak biasa ibu bekerja di kantor. Pekerjaan ibu ya di rumah. Bahkan, ada banyak ibu rumah tangga yang di KTP-nya dicantumkan pekerjaan “ikut suami”, atau ibu rumah tangga.
Dalam kata-kata jawa, kaum perempuan adalah “kanca wingking”, teman yang hanya berada di bagian belakang rumah saja. lebih jelek lagi dikatakan kaum perempuan zaman dulu itu ujung-ujungnya kembali ke sumur, dapur, dan Kasur. Hanya mengurus rumah, memasak, dan melayani suami. Mau bersekolah setinggi apa pun, akhirnya balik ke dapur juga, mengurus anak saja, memasak, menyapu dan mengepel lantai. Jadi, anak perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Sekarang perempuan bekerja merupakan barang lazim. Pilot perempuan, polisi perempuan, presiden perempuan sudah tidak menjadi ikhwal yang aneh. kalau bukan karena emansipasi, dan tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin berat, kaum perempuan juga jengah jika hanya mengurus rumah. mengurus rumah hari ini seakan lebih membosankan dan kurang menantang dibanding bekerja kantoran. Istilah wanita karier tentu lebih membanggakan dibanding sekadar ikut suami atau ibu rumah tangga. Wanita karier ini bekerja bukan hanya sekadar untuk mencari uang penambah belanja dapur, melainkan lebih dari itu juga sebagai sarana aktualisasi diri. Pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dulu seakan hanya menjadi dominasi kaum pria, sekarang banyak juga dikerjakan kaum hawa. Bagi Ibu tertentu, urusan rumah bisa didelegasikan ke pembantu rumah tangga sementara urusan anak bisa ke pengasuh anak.
Baca juga: Perempuan Berpeluang Memimpin di Era Disrupsi Digital
Zaman dulu, apapun yang dilakukan orangtua seakan tidak ada yang salah. Kalau ayah bilang: “Belajar..!” mana ada anak yang berani melawan dan bilang: “Tidak mau…!” Perintah ini cukup diucapkan sekali saja. Dengan cara yang “kalem” pun, anak akan berpikir dua kali untuk bilang tidak. Apalagi saat perintah kedua dengan suara lebih nyaring. Langsung semua mainan akan ditinggalkan, dan anak akan segera duduk taksim untuk belajar.
Walaupun setelah itu ayah hanya duduk membaca koran di samping anaknya, anak-anak akan tetap diam belajar, tak berani pergi dari meja belajarnya sebelumnya ayah memberi izin untuk bermain kembali. Jika ayah marah, mana ada anak yang berani menatap matanya, atau membantah ucapannya. Orangtua zaman dulu hanya berhak dan layak memberi nasihat tentang apa yang disebut baik dan buruk untuk anaknya.
Guru di sekolah pun mengadopsi nilai yang sama. Tidak jarang guru di sekolah memukul, dan memberi hukuman fisik. Dan orangtua nyaris tidak berkeberatan dengan cara Pendidikan seperti itu. Tak ada orangtua yang mengadu ke komnas HAM atau Komnas Anak karena guru memukul muridnya. Orangtua cenderung menyerahkan seluruh Pendidikan anak pada sekolah dan guru.
Sekarang generasi 1950-an tahun itu sudah menjadi orangtua, tetapi dia tidak bisa menerapkan cara-cara pengajaran yang sama seperti model orangtuanya dahulu.
Hari ini bagian terbaik dari makanan yang disajikan dalam keluarga adalah untuk anak. Anak harus pintar. Orangtua sekarang sadar, kompetisi anak ke depan akan semakin keras. Jadi anak harus dibentuk menjadi pribadi unggul. Gizi harus disajikan kepada anak dengan sempurna, bahkan sering berlebihan.
Orangtua sering berpikir: “Biar aku saja yang mengalami hidup susah, anak-anak jangan mengalami susah seperti aku”. Kalau orangtua ingin menikmati makanan tertentu ketika tengah berjalan-jalan di mal, lalu anak mereka merengek ingin makanan lain, maka orangtua cenderung mengikuti apa yang diinginkan anaknya. Jadi, kalau anak zaman dulu generasi 1950-an harus tunduk dalam “penjajahan” orangtua. Hari ini, saat mereka menjadi orangtua, mereka tunduk dalam “penjajahan” anak-anaknya. Inilah yang disebut generasi sandwich. Hari ini suasana menjadi lebih demokratis. Orangtua dituntut menjadi panutan. Anak setiap kali meminta alasan dari ucapan, perintah, instruksi, dan nasihat orangtuanya. Jika masuk akal buat anak muda ini, maka perintah akan diikuti, jika tak masuk akal akan dibantah, atau didiamkan saja.
Baca juga: Anak Muda Gampang Tertular Virus Entrepreneur
Orangtua sekarang tidak boleh hanya sekadar bisa memberi nasihat, melainkan juga harus melaksanakannya. Anak-anak hari ini tidak segan-segan mengoreksi ayahnya, bila apa yang dikatakan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan. Jika orangtua meminta sesuatu atau memberi instruksi, maka anak harus mendapat rasionalisasinya mengapa harus begini dan mengapa harus begitu. Anak tidak mau dan tidak ingin hanya sekadar menjadi obyek semata. Mereka juga ingin menjadi subyek.
Banyak orangtua tidak mengerti mengapa mereka tidak mudah menasihati anak-anaknya sama seperti ketika mereka masih kecil. Buat generasi enam puluh tahun atau bahkan tujuh puluh tahun, mereka tidak bisa memahami mengapa pelajaran budi pekerti zaman dulu yang menjadi pelajaran wajib, seperti tak cocok buat mendidik anak hari ini. Orangtua tak mudah memberi pemahaman bahwa sukses butuh proses, mencapai hasil butuh waktu dan jam terbang, tingkah laku dan watak baik juga penting selain meraih ranking bagus dalam nilai sekolahnya. Sekolah dan orangtua hari ini dipaksa untuk mendewakan ranking, karena prestasi kepala sekolah juga ditentukan oleh ranking murid di sekolahnya. Salah satu kebanggaan orangtua adalah saat bisa bercerita dengan tetangga, seberapa tinggi ranking sekolah anaknya.
“Generasi Sinchan”
Generasi orangtua tahun 1950-an disebut generasi baby boomer. Ini adalah generasi Presiden Amerika Bill Clinton. Generasi ini diikuti dengan generasi TV layar datar (flat TV), orang-orang yang lahir saat dipopulerkannya televisi memandang remeh generasi televisi tabung yang tambun dan besar. Generasi flat TV ini sekarang disusul generasi Y, dan kemudian disambung generasi milenial. Anda pernah nonton film kartun Sinchan? Jika ingin mengamati bagaimana cara hidup generasi milenial ini, tonton saja film kartun Sincan.
Coba perhatikan, generasi ini adalah generasi yang pandangannya mungkin tidak mudah dipahami oleh orangtuanya. Kalau Sinchan melihat orangtuanya mendapat masalah, Sinchan tidak serta merta ikut prihatin dan menderita. Kadang malah mentertawakan ibunya yang tersandung nyaris jatuh. Film kartun ini sempat diributkan supaya dicegah tayang, karena film ini terasa tidak mendidik. Namun jangan-jangan ini sebenarnya sebagian cerminan sikap anak hari ini. Mereka tidak lagi bisa memahami jika orangtua mereka tidak bisa diajak berdiskusi tentang sesuatu yang mereka rasa benar. Zaman dulu orangtua cukup mengatakan: “Ini pamali nak!” atau menurut Bapak begini.. jangan membantah orangtua…!” Dengan kata-kata sakti ini, anak-anak zaman dulu biasanya hanya ikut saja.
Tetapi, anak generasi milenial bisa jadi berbeda sikap. Kalau seorang ayah memberi nasihat soal kebersihan, lalu besoknya membuang puntung rokok tidak pada tempatnya, maka anaknya tak segan-segan memprotes ayahnya. Kalau Ibu zaman dulu tidak setuju dengan pacar anaknya, Ibu cukup bilang: “Ini semua kan demi kebaikanmu.. mana ada Ibu yang ingin mencelakakan anaknya…!” Kalau anak masa kini menghadapi Ibu model “zaman dulu” akan dijawab oleh anaknya: “Yang mau kawin ‘kan saya Ma…”
Baca juga: 4 Buku Rahasia Kepemimpinan CEO Dropbox
Dalam urusan di perusahaan, oleh anak muda ini loyalitas bekerja di perusahaan mendapat arti tidak hanya sekadar lama bekerja di satu tempat. Sementara itu, banyak karyawan senior sering menuduh anak muda tidak sabar dan tidak punya loyalitas. Orangtua sering memberi vonis pada anak muda sekarang ingin sesuatu yang instan. Kelompok anak muda tahun 2000-an mungkin terasa lebih bersikap rasional, transaksional, dan cenderung individualis.
Di perusahaan, sering kita dengar cerita orang-orang generasi lima puluh tahun ke atas begini: “Kalau dulu kita disuruh kerja apa saja, ya kita lakukan saja… Tidak meminta Surat Keputusan, tidak mempertanyakan fasilitas yang akan diberikan perusahaan. Jika bertahun-tahun perusahaan tidak menyesuaikan gaji, kita masih bisa memahami dan bisa bertahan. Kalau kita tidak dinaikkan pangkat selama bekerja puluhan tahun, kita bisa menerima…. Tapi anak sekarang… baru bekerja beberapa tahun sudah bertanya, kapan naik gaji, kapan dapat fasilitas, kapan naik pangkat…” Tak heran jika ada masalah sedikit saja di perusahaan, atau ada tawaran sedikit lebih di perusahaan lain, anak muda sekarang tak mudah untuk tetap bertahan.
Pimpinan zaman dulu lebih banyak memerintah dan “menebarkan kewibawaan” dengan model ketakutan. Mana ada penilaian karya model 360 derajat. Pimpinan menilai anak buah berdasarkan pandangannya sendiri. Kalau suka silakan ikut, kalau tak suka ya pergi saja. Buat ilmu orang-orang zaman milenial, cara mendidik orangtua, guru, dan pimpinan perusahaan seperti itu dianggap semena-mena. Bukan menciptakan rasa segan, melainkan ketakutan.
Anak-anak sekarang mempunyai pilihan lebih luas dan banyak. Kalau anak zaman dulu ditanya apa cita-citanya, maka jawabannya seperti tak banyak pilihan. Jawaban agak standar. Kalau tidak menjadi dokter ya insinyur. Kalau diminta menggambar, nyaris pasti gambarnya dua buah gunung, di tengah-tengahnya matahari. Anak yang agak kreatif akan menggambarkan jalan raya, tiang listrik, dan beberapa burung yang terbang di udara. Hari ini anak yang ditawarkan pada khalayak lebih luas. Menjadi pelawak bisa membuat orang hidup berkecukupan dari sisi finansial. Lebih lagi membuat bisnis sendiri menjadi kebanggaan baru. Bisnis startup aplikasi di smartphone sekarang menjamur di kalangan anak muda.
Baca juga: Yuk, Belajar Lewat 10 Startup Pendidikan Asli Indonesia Ini
Wakil Rektor I Universitas Atma Jaya, Dr. Phil. Juliana Murniati, M.Si, seorang psikolog, mengatakan dalam sebuah seminar tentang pendidikan, bagaimana anak zaman sekarang tidak ingin serba cepat dan instan. Sejak kerjanya hanya dengan menyentuh atau mengusap saja permukaan layarnya. Mereka tidak perlu susah-susah ke sana ke mari untuk mendapatkan informasi, memesan makanan, dan membeli barang. Kalau ingin mainan, tidak perlu membuat mainan seperti zaman dulu.
Akibatnya, kelompok muda ini tidak sesabar seperti orangtua zaman dulu, karena lingkungannya memaksa mereka seperti hidup dalam ketergesaan. Kompetisi dalam kehidupan sosial semakin keras. Lingkungan dan pendidikan tentu saja ikut berpengaruh membangun kebiasaan tak sabar seperti ini. Pendidikan dan guru lebih suka menguji murid dengan pilihan ganda. Akibatnya, anak tidak dilatih untuk mencari, berusaha mengorek atau meneliti, dan berani menyampaikan jalan pikiran dan aspirasinya.
Jawaban dalam ujian pilihan ganda memberi “kunci”. Jika dia tahu jawabannya, murid sekadar langsung melingkari jawabannya. Jika murid tidak tahu atau ragu-ragu, ya tebak saja. Barangkali hanya dengan menebak saja, murid bisa lulus, dan semuanya selesai dalam waktu serba cepat. Guru juga ingin instan dengan mengoreksi dan menyelesaikan urusan ujian murid dengan cepat, efisien, dan segera. Bayangkan bila guru harus memberi ujian dengan soal berbentuk esai atau kasus, atau tugas menulis dan membaca. Tentu pekerjaan mereka untuk mengoreksi tugas dan ujian akan lebih berat dan lebih lama. Ujian Nasional dan tes masuk perguruan tinggi juga lebih masuk akan dibuat dalam bentuk pilihan ganda. Jawaban murid tinggal dimasukkan ke komputer, semua kalkulasi dan komputasi jawaban segera keluar dalam tempo sesingkat-singkatnya. Ratusan ribu orang bisa segera ditentukan nasibnya dalam waktu sekejap.
Dengan struktur usia penduduk dan sikap yang dibawa semacam ini, bisa dibayangkan semua orang yang berkepentingan menjangkau penduduk Indonesia baik untuk urusan bisnis, konsumen, sekolah, pelajaran, keagamaan, kampanye politik, pilkada harus siap dengan situasi dan cara pendekatan yang sama sekali lain dari cara pendekatan zaman dulu.
Baca juga: The NextDev Ajak Anak Muda Bikin Dampak Sosial Positif untuk Indonesia
Anak Muda, Politik , dan Sosial
Di zaman Orde Baru atau zaman perang dingin di dunia, pemimpin negara-negara tertentu sudah nyaris pasti “tua” usia. Untuk merintis karier membutuhkan waktu lama, melewati tahapan birokrasi yang tidak memungkinkan seseorang berusia 35 tahun berpikir menjadi pimpinan negara atau pimpinan wilayah tertentu. Tetapi mungkin kita bisa melihat semua perubahan besar dalam bidang politik ini dalam pemilih muda, yang barangkali tidak begitu dekat dengan cerita kemerdekaan, proklamasi, pemberontakan PKI, bahkan mungkin peristiwa ’98. Orang muda ini Politik praktis di organisasi, di kampus, di Lembaga tertentu seperti zaman Orde baru tidak berjalan lagi. Bayangkan dulu hampir semua organisasi, organisasi petani nelayan, organisasi olahraga, organisasi KADIN, asosiasi biro iklan, asosiasi wartawan, semuanya berpotensi dipakai untuk meniti tangga karier menjadi pejabat negara. Bahkan ketua senat mahasiswa bisa ditentukan masa depannya sejak masih di kampus.
Sekarang, hanya sebagian kecil mahasiswa tertentu yang aktif dalam organisasi kampus saja yang mungkin memahami dan berlatih berpolitik praktis. Mereka sudah sibuk, atau paling sedikit disibukkan dengan pikiran selesai kuliah mau apa. Bagi sebagian besar anak muda hari ini, profesi adalah pilihan yang terencana. Dunia politik adalah profesi pilihan, sama seperti profesi pilihan lain. Harus dirintis sejak dini. Pandangan mereka terhadap pimpinan negara atau pimpinan daerah lebih objektif. Mereka memilih pemimpin yang bisa membawa daerahnya atau Indonesia bersaing dan punya keunggulan kompetitif dibanding daerah lain atau negara lain. Lebih objektif karena tidak semata-mata memilih karena uang seratus ribu rupiah. Mereka bisa berdebat, menentukan sikap, dan berani berpendapat sesuai nuraninya sendiri. Perasaan kebangsaannya adalah bagaimana bisa dengan bangga bercerita tentang kehebatan hasil karya tertentu untuk dipertontonkan atau dipersaingkan dengan hasil karya tertentu dari bangsa lain.
Bila pilkada bisa analogikan dengan proyek penggarapan brand, maka calon-calon pemimpin muda ini pun sudah memakai kaidah positioning dan targeting. Bakal pejabat yang ingin terpilih dalam pilkada harus tahu bagaimana menjual diri di hadapan anak muda ini. Tidak bisa lagi hanya sekadar pasang foto besar-besar di baliho atau kaca belakang bajaj. Calon ini juga tidak mudah lagi memakai uang sogok untuk pemilih muda. Kampanye dengan teriak-teriak “merdekaaaaa….” Barangkali sudah tidak mempan menarik minat anak muda.
Baca juga: 4 Alasan UKM Indonesia Diminati Perusahaan Asing
Anak muda yang kelihatan tidak terlalu peduli pada dunia politik ternyata memegang peran penting dalam banyak pemilihan pilkada. Mereka tidak lagi gencar turun ke jalan seperti zaman dulu, tetapi mereka menggunakan media sosial. Peran media sosial hari ini benar-benar bisa mengubah kebijakan politik, atau sekurang-kurangnya diperhatikan dibanding dengan hanya sekadar apa yang tertuang dalam media tradisional. Kasus-kasus korupsi besar, kasus penyelewengan hukum sekarang tidak mudah ditutupi, karena apa saja bisa dibocorkan tanpa ampun.
Kembali, ini semua menunjukkan betapa dunia di sekitar kita (termasuk urusan politik) berubah drastis. Generasi yang mendominasi suasana dan situasi hari ini benar-benar mengubah wajah kehidupan sosio kultural. Coffee shop yang dulu pernah mencoba hidup di tahun 1980-an, tetapi gagal, sekarang tumbuh subur bagai jamur di musim hujan.
Jadi jelaslah sudah, semua produk dan jasa, bahkan kegiatan sosial keagamaan dan politik harus ikut melintasi generasi ini. Bahkan, urusan sosial keagamaan pun terkena imbasnya. Zaman dulu ada banyak lembaga sosial yang hidup dari sumbangan. Sekarang tidak cukup lagi bila Lembaga ini menyerahkan nasibnya pada sumbangan. Berapa banyak sekolah yang tutup, karena diurus oleh pengelola Yayasan yang tidak mengerti bagaimana mengelola keuangan dengan baik, rapi, dan benar.
Baca juga: Ikutan Sekolah Coding Gratis, Yuk!
Sekolah sekarang banyak yang sudah menjalankan fungsi pemasaran layaknya sebuah usaha. Sangat manusiawi . Jika semua orangtua menginginkan anaknya bersekolah di sekolah terbaik. Sebaliknya, sekolah akan naik pamornya jika mendapatkan murid-murid terbaik untuk mengangkat kualitas pengajarannya. Kebutuhan timbal balik inilah yang memaksa banyak sekolah hari ini menerapkan manajemen modern yang terasa lebih “transaksional”, supaya bisa bertahan menghadapi kompetisi dengan Lembaga bisnis swasta yang masuk juga ke ranah yang sama. Tuntutan kualitas Pendidikan sesuai dengan standar nasional atau bahkan internasional, akan menjadi pertimbangan utama bagi orangtua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tertentu. Bukan lagi sekadar karena niat baik, visi sosial, atau keagamaan dari sekolah tertentu.
Lembaga sosial dipaksa memberi arti dan definisi berbeda untuk kata “sosial” zaman dulu.
Rumah sakit dan sekolah tiba-tiba menjadi ladang bisnis menggiurkan. Akibatnya, lembaga yang dari zaman dulu memahami definisi sosial dalam arti memberi saja pada orang miskin dan berkekurangan, sekarang mungkin akan kesulitan bertahan, karena sumber dana yang semakin sedikit. Ini seperti bola salju. Kualitas akan membuat konsumen puas. Namun, kualitas membutuhkan dana tertentu, untuk riset, untuk training, untuk membayar profesional, untuk memodernisasi alat baru, untuk memperbaiki infrastruktur. Jika ini dipenuhi, maka konsumen akan puas, datang lagi, dan akan merekomendasikan kepada orang lain untuk memakai jasa lembaga itu. Sebaliknya, jika konsumen tak puas, konsumen akan pergi dari lembaga itu.
Akibatnya, sumber daya makin lemah. Jika sumber dana tak cukup untuk berbuat sosial, bagaimana mau memberi dan menjalankan aksi sosialnya? Doa saja rupanya kurang untuk membuat kegiatan sosial bertahan hidup.