Seiring berkembangnya teknologi di Indonesia, banyak pebisnis mulai bermigrasi ke bisnis digital. Tetapi, tidak jarang juga berbagai macam bisnis yang sudah memanfaatkan digital disalahkan menjadi pengacau atau disruptor terhadap bisnis yang terdampak. Misalnya bisnis yang belum atau tidak mau berlalih ke digital. Hal ini sangat disayangkan karena salah satu visi ekonomi Indonesia adalah menjadi "The Digital Energy of Asia" di tahun 2020. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, para pebisnis harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan bermigrasi ke bisnis digital.
Dalam perkenalan pengurus baru Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) periode 2018-2020 di Jakarta (6/8), Ignatius Untung, Ketua Umum idEA mengatakan, "Kita bisa lihat 3 dari 5 orang terkaya di dunia versi majalah Forbes berasal dari industri ekonomi digital. Perusahaan-perusahaan paling bernilai di dunia juga didominasi perusahaan yang bergerak di bidang ekonomi digital. Berdasarkan hal ini, kita bisa melihat bahwa masa depan ekonomi dunia, bukan cuma Indonesia, adalah digital economy. Ini tidak bisa dibantah lagi."
Untung juga menyatakan bahwa disrupsi yang terjadi pada perekonomian Indonesia bukanlah kesalahan e-commerce. Ia mengajak masyarakat untuk melihat bahwa tren saat ini adalah semua hal tentang online meningkat dan offline menurun. Menurutnya, ada 4 sektor bisnis yang terdampak hal ini.
Baca juga: Online dan Offline Sama Pentingnya?
Pertama, ritel karena selain lebih mudah belanja online disamping juga menghemat waktu, banyak orang lebih memilih platform ini. Kedua, transportasi karena persaingan harga dan layanan yang dimiliki perusahaan transportasi online, perusahaan transportasi offline menjadi "goyah". Ketiga, televisi karena adanya layanan on demand, televisi berlangganan tanpa layanan tersebut semakin ditinggalkan. Pemasangan iklan pun akan lebih merambah ke media sosial daripada televisi. Terakhir adalah biro perjalanan konvensional semakin ditinggalkan karena maraknya aplikasi travel online yang dapat mengatur perjalanan sesuai minat pengguna.
Contoh lainnya, sambung Untung, berdasarkan data Visual Capitalist, bahwa Pokemon-Go hanya membutuhkan 19 hari untuk mendapat 50 juta pengguna. "Jelas lebih cepat dibandingkan industri otomotif atau pesawat terbang. Oleh karenanya, digital economy bukan hanya memiliki impact yang besar tapi juga luar biasa cepat," tambahnya.
Lebih lanjut Untung mengatakan, "Sekarang orang kalau dipecat dari pekerjaan sudah tidak panik seperti dulu. Banyak alternatif jika bisa memanfaatkan digital. Pekerjaan yang sangat technical pun seperti asisten rumah tangga, tukang pijat, dan teknisi sudah memanfaatkan digital. Anak muda juga sekarang dapat dengan mudah mencari uang sebagai youtuber atau menjadi reseller di toko online."
Baca juga: Agar Tak Tertinggal, UMKM Harus Online
Menurutnya, ekonomi digital sangat tepat untuk kita karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan penduduk lebih dari 250 juta orang. Dengan adanya ekonomi digital, semua orang dari seluruh Indonesia punya akses yang sama. "Problem utama kita, kan, sentralisasi. Dengan digital economy semua bisa terdesentralisasi," ujarnya.
Dalam acara ini, idEA memiliki visi besar baru yaitu mendorong keperpihakan pada industri ekonomi digital. Melalui visi ini, idEA ingin mengajak seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah untuk mendukung ekonomi digital di Indonesia karena berbagai negara di seluruh dunia sudah berpihak pada ekonomi digital. "Jika Indonesia tidak menyambut baik ekonomi digital, kita harus siap untuk dijajah. Prediksi Indonesia menjadi negara ekonomi terkuat ke-7 di dunia tidak akan tercapai, kalau kita tidak memberikan jalan yang besar untuk ekonomi digital," pungkas Untung.
Baca juga: Google: Ekonomi Digital Asia Tenggara Tumbuh Lebih Cepat dari Prediksi