Buat kamu yang tinggal di perkotaan tentu akrab dengan aplikasi pembayaran digital semacam Yap! yang diluncurkan oleh PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI. Mungkin juga setiap hari kamu membayar pengemudi Go-Jek dengan Go-Pay, atau pernah juga mengajukan kredit untuk belanja di eCommerce melalui aplikasi kredit online. Yap, bisnis fintech memang semakin menjamur di Indonesia. Hal ini didukung oleh pertumbuhan kelas menengah dan penetrasi internet yang tinggi.
Pada tahun 2016, hanya ada sekitar 50 perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia, dan saat ini ada lebih dari 150 perusahaan. Tarif internet dan harga smartphone yang semakin terjangkau menjadikan semakin banyak orang di Indonesia yang memiliki saldo di dompet virtual dibandingkan dengan di rekening bank konvensional. Ini juga menjelaskan mengapa dompet virtual makin populer di Indonesia.
Dengan populasi penduduk terbesar se-Asia Tenggara, sangat timpang jika melihat hampir separuh jumlah penduduk Indonesia, sekitar 49% tidak memiliki rekening bank dan juga tidak memiliki akses ke layanan perbankan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena faktor Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Setengah dari populasi, sekitar 46% tinggal di daerah pedesaan yang terpencil dan jauh dari pusat kota, membuat layanan keuangan sangat susah untuk diakses.
Baca juga: Potensi E-Commerce Pimpin Pasar Aplikasi Mobile di Indonesia
Meskipun setengah dari jumlah penduduk tidak memiliki rekening bank, tingkat penetrasi internet di Indonesia justru berbanding terbalik. Menurut sebuah survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet di Indonesia sekitar 72% di perkotaan, 49% di daerah pedesaan-perkotaan dan 48% di daerah pedesaan.
Hal tersebut menjadi peluang bagi perusahaan-perusahaan fintech untuk memasuki celah yang ada. Mereka memanfaatkan ketimpangan antara penetrasi internet dan akses ke layanan keuangan konvensional dengan memperkenalkan model bisnis fintech untuk penduduk Indonesia yang tidak memiliki rekening bank tapi memiliki smartphone. Banyak pendukung fintech mengklaim bahwa fintech akan menjadi era baru di dunia perbankan.
Namun, benarkah fintech benar-benar bisa menyentuh masyarakat pedesaan di Indonesia?
Baca juga: Berapa Jumlah Pengguna Internet di Indonesia?
Melansir data yang dirangkum oleh The Asean Post, Selasa (4/9), beberapa perusahaan fintech telah melakukan upaya untuk menjangkau masyarakat pedesaan. Pada bulan Februari, Smartag International menandatangani perjanjian joint venture dengan perusahaan fintech Indonesia PT Supratama Makmur Sejahtera (PT SMS) untuk membentuk proyek bersama yang dinamai Indonesian Project.
Indonesian Project adalah sebuah inisiatif untuk menyediakan layanan e-wallet kepada 10.000 siswa sekolah pedesaan. Banyak dari sekolah-sekolah ini dimiliki oleh lembaga keuangan mikro Islam seperti Baitul Mal Tamwii (BMT). Smartag berupaya menggabungkan platform keuangan yang beragam tersebut ke dalam satu platform fintech yang akan memberi para siswa akses ke layanan e-wallet dan BMT microfinancing. Inisiatif tersebut juga bertujuan untuk menyediakan layanan keuangan kepada anggota keluarga siswa, yang juga akan membantu mereka mendapatkan akses ke fitur seperti pembiayaan mikro untuk usaha.
Inisiatif lain seperti Amartha misalnya, berfokus pada penyediaan layanan keuangan untuk usaha kecil menggunakan model bisnis peer-to-peer di daerah pedesaan di Indonesia. Model bisnis peer-to-peer dipilih Amartha untuk menghubungkan investor dan pemberi pinjaman langsung kepada pemohon. Amartha juga telah mengembangkan sistem yang mengukur skor kredit individu melalui transaksi keuangan tanpa rekening bank di daerah pedesaan.
Baca juga: Fintech Peer-to-Peer Lending, Alternatif Investasi di Era Digital
Kekhawatiran data
Kemudahan mengakses layanan keuangan melalui fintech mempunyai sisi lain. Ada harga yang harus dibayar yaitu kekhawatiran akan bocornya data pelanggan. Model perusahaan fintech dalam menghitung skor kredit seringkali dilakukan dengan cara mengumpulkan data tentang demografi, melakukan profil perilaku dan menjalankan tes psikometri. Data-data tersebut sangat berharga, namun jika berada di tangan yang salah bisa dengan mudah menyebabkan berbagai masalah. Selain itu, ada juga kekhawatiran privasi karena konsumen biasanya tidak menyadari apa yang dilakukan oleh perusahaan fintech dengan data tersebut.
Tidak seperti bank konvensional yang menghasilkan uang dari bunga dan biaya, perusahaan fintech menciptakan pendapatan melalui monetisasi data. Saat ini keamanan data pelanggan untuk bank sudah cukup terjamin dengan diatur bahwa data konsumen tidak akan dijual. Tetapi di ruang fintech, kerangka hukum seperti itu belum ada.
Apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan fintech tersebut adalah upaya positif untuk memberikan inklusi keuangan kepada mereka yang tidak memiliki akses, memberikan pinjaman dan layanan e-wallet, juga menyediakan kredit mikro yang dapat membantu anggotanya di wilayah pedesaan. Namun yang perlu dikawal adalah praktek-pratek tersebut tidak malah menjerumuskan anggotanya. Pemerintah Indonesia sebaiknya segera menyusun peraturan yang menjamin data konsumen tidak disalahgunakan.
Baca juga: Rudiantara Imbau Penyelenggara Sistem Elektronik Jaga Data Pelanggan