Sejak awal 2016, Presiden Jokowi sudah menyerukan Indonesia sebagai The Digital Energy of Asia. Apa artinya? Indonesia bakal menjadi pusat energi era digital di Asia, bukan sekadar menjadi pasar terbesar.
Memang, kekuatan Indonesia tidak seharusnya diremehkan oleh siapapun. Peter Grove, seorang entrepreneur internet, menuliskan di Business Insider bahwa wilayah ASEAN akan memiliki lebih dari 300 juta pengguna smartphone di 2017. Ini sudah melebihi Amerika Serikat yang diperkirakan hanya akan mencapai 225 juta. Artinya, pengguna aplikasi global semacam Facebook, Google, WhatsApp, Instagram atau sebut saja apapun, bakal lebih banyak yang berasal dari Asia Tenggara daripada AS.
Jika itu memang terjadi, jika pengguna Instagram misalnya lebih banyak di Asia Tenggara daripada AS, bukankah sudah sewajarnya “mereka” mulai memikirkan kebutuhan pengguna di wilayah ini? Dan jika mulai seperti itu, bisa jadi banyak hal pada layanan global itu akan didorong oleh pengguna di wilayah ini. Padahal, kalau bicara Asia Tenggara, siapa lagi yang punya pengguna terbanyak kalau bukan Indonesia?
Contohnya saja, lembaga riset Emarketer memperkirakan jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia akan melampaui 100 juta orang pada 2018. Sedangkan survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) menyebutkan ada 132,7 juta orang Indonesia yang telah terhubung ke internet pada 2016 saja.
Saat ini, terutama di kota-kota besar, masyarakat Indonesia mulai merasakan perubahan yang disebabkan oleh inovasi digital. Dulu, komunikasi dilakukan via SMS dan telepon, kini aplikasi chat sudah menyediakan kemampuan panggilan suara, bahkan video. Dulu, transportasi mengandalkan lambaian tangan di pinggir jalan atau tawar-menawar dengan ojek pangkalan, kini aplikasi turut mengubah cara kita berkendara. Dulu, belanja barang harus datang ke toko atau pasar, kini aplikasi membuat belanja mudah dan kadang bahkan lebih murah.
Saya jadi teringat kata-kata Piyush Gupta, Presiden Grup DBS, yang mempertanyakan: Kenapa kita beranggapan perbankan bakal kebal atau terjaga dari perubahan yang serupa? Padahal perbankan, boleh dibilang, adalah industri yang paling mudah didigitalisasi.
Ternyata memang betul, saat ini perbankan sedang perlahan tapi pasti, bergerak ke arah perbankan digital. Baik yang dengan sukarela atau yang bakal diseret paksa oleh perkembangan jaman, perubahan itu sudah tidak bisa dipungkiri lagi.
Untungnya, perubahan ke arah digital banking ini bakal menguntungkan juga. Terutama untuk negeri seperti Indonesia, yang wilayahnya terbentang luas, dengan samudera di antara pulau-pulaunya. Digital banking memungkinkan layanan perbankan terjangkau di wilayah-wilayah terpencil dan terluar. Peranan bank dalam memberikan layanan keuangan digital akan bersinergi secara cantik dengan upaya-upaya pemerintahan maupun penyedia infrastruktur telekomunikasi yang melakukan pembangunan hingga wilayah-wilayah terluar Indonesia.
Tentunya, untuk bisa memenuhi janji-janji itu, dibutuhkan perubahan yang juga mendasar di industri perbankan. Mengutip Gupta, tidak cukup sekadar memakai “lipstik digital”, perbankan harus mulai berani berubah dari core-nya.
Menghadapi lanskap yang sedang berubah ini, ada tiga hal yang disarankan firma konsultansi McKinsey bagi perbankan. Pertama adalah resilience, yaitu melakukan perubahan fundamental pada cost structure-nya. Kedua adalah reorientation, yaitu menjadikan bank sebagai platform data dan analisis digital, yang kemudian secara agresif terhubung dengan layanan fintech dan penyedia platform digital. Sedangkan yang ketiga adalah renewal, yaitu mulai menerapkan teknologi untuk memiliki kemampuan dan struktur baru
Melihat secara jangka panjang, jalannya memang bukan jalan yang mudah untuk dilalui. Tapi ini sudah saatnya perbankan untuk menunjukkan kekuatannya. Mewujudkan Indonesia sebagai “Energi Digital Asia” adalah upaya bersama, dan kita bisa menjadi bagian dari itu. Demi bangsa!