Gerakan Nasional 1000 Startup Digital mulai menuai hasil lewat strategi mentoring dan pembinaan intensif di sepuluh kota. Para pelaku startup telah melewati tahap Ignition, Networking, Workshop, Hacksprint, dan Bootcamp sampai puncaknya jawara terpilih berkesempatan unjuk gigi pada “Demo Day” 25 Mei lalu.
Menariknya, perwakilan dari mentor mengaku ada banyak hal yang cukup mengagumkan bagi mereka. Banyak pula cerita menarik dan insight yang didapat dari startup di luar Pulau Jawa.
Winda Winanti selaku Product Manager Bukalapak terkejut saat mengetahui ada startup yang memiliki ide crowd funding untuk para kandidat pemimpin daerah. Startup ini ingin memecahkan masalah yang kerap ditemukan ketika sedang ada pencalonan pemimpin di Indonesia.
“Daripada harus ada transaksi politik, startup ini mencarikan crowd funding untuk para calon pemimpin daerah. Di Jakarta gak ada kepikiran bikin crowd funding buat menyukseskan calon pemimpin daerah. Di daerah banyak yang memikirkan hal kecil yang bisa berpotensi di situ, mungkin bisa jadi true MVP,” cerita Winda yang memilih menjadi mentor di Kota Makassar, Pontianak, dan Medan.
Baca juga:
Jiwa Startup Harus Dirintis Sejak Muda
Pilihan melangkah ke luar Jawa justru malah membuatnya terisnpirasi dari startup-startup baru karena ada banyak insight yang tidak didapatkan terutama dari sisi impact sosial.
“Pertama kali jadi mentor deg-degan, aku bisa sharing apa ya ke mereka. Akhirnya, di sana aku berpikir menjadi mentor kita bisa belajar banyak karena banyal hal yang aku gak pernah tahu terjadi. Mereka juga sangat tertarik dengan hal yang berbau bisnis, seperti produk, UX, dan mereka open minded,” tambahnya.
Hal yang impactful menurutnya adalah mengetahui apa yang dihadapi petani di daerah, bidan-bidan di daerah, dan persoalan logistik. Di setiap kota pun selalu ada startup yang berangkat dari misi sosial meskipun model bisnisnya berbeda-beda.
“Startup dengan misi sosial biasanya mereka sudah jalan offline-nya duluan dan pengalamannya banyak. Jadi, pas sharing insight-nya mereka powerfull banget, empatinya besar saat bertanya ke market karena mereka berangkat dari problem spesifik, tapi bisa menolong orang yang butuh. Ini harusnya bisa dicontoh oleh startup lain bagaimana soal memvalidasi masalah yang akurat,” kata wanita lulusan ITB ini.
Baca juga:
Lulus Kompetisi Startup, Malah Jadi Karyawan?
Gagal Merencanakan = Merencanakan Kegagalan
Sony Rachmadi, Chief Excecutive Officer (CEO) RUN System, punya cerita berbeda. Menjadi mentor baginya merupakan tanggung jawab besar. Ia ingin anak didiknya tangguh dan memiliki startup yangsustainable, tak seperti masa lalunya.
“Saya pernah jadi pebisnis dan mengalami kebangkrutan. Pada saat saya move ke dunia startup yang pertama saya lakukan adalah jangan sampai ada orang yang bangkrut seperti saya. Bangkrut satu dua miliar okelah, tapi kalau sudah berdigit-digit ya lumayan juga,” kenangnya.
Meskipun begitu, tak semua startup mudah dibimbing dan diarahkan. Ada startup yang sudah punya impact matang, tapi model bisnisnya sulit dipertahankan dan dikembangkan. Padahal model bisnis merupakan salah satu inti utama dari sebuah startup.
Baca juga:
APMF 2018 Tantang Startup di Kontes Big Break
“Saya ingat ada di satu kota ada satu kelas di pelosok, saking geregetannya karena takut mereka salah saya setrap sampai jam setengah tujuh malam gak boleh pulang cuma ngurusin bisnis model saja. Saya lupa rupanya di situ saya pakai kampus orang,” ujarnya sumringah.
Oleh karena itu, sejak awal Sony menyarankan kepada para startup untuk selalu ingat tujuan awal mendirikan perusahaan rintisan agar bisa fokus ke depan. “Ingat visi misi, jangan sampai bikin startup cuma buat gampang dapat level direksi atau CEO, tapi dari sisi bisnis belum scaleable dan sustain.”
Baca juga:
Dicari, Startup yang Berani Ngutang!