Andi, lelaki berusia 40-an itu tiap hari berangkat dari rumahnya di Cibinong sekitar jam 6 pagi. Tiga puluh menit mengendarai motornya, Andi tiba di kawasan Margonda Depok tempat dia mangkal bersama puluhan hingga ratusan driver ojek online. Andi sendiri memiliki kawanan yang terdiri dari tujuh hingga sepuluh orang driver. Mereka biasanya menunggu penumpang sambil bertukar cerita dan bercanda tawa di bawah rimbunan pohon kersen di tepi trotoar Jalan Margonda.
Setelah hampir 25 tahun bekerja sebagai karyawan swasta, dua tahun lalu Andi mulai bergabung dengan salah satu perusahaan aplikasi transportasi online Go-Jek. “Saya dulunya karyawan outsourcing, surveyor kartu kredit,” tutur Andi memulai cerita saat ditemui Digination.id awal Maret lalu di tempat mangkalnya.
Andi mengaku meninggalkan perusahaan tersebut karena dua alasan. Pertama, karena memang perusahaannya mengalami kebangkrutan. Dan yang kedua, karena dia sudah tidak mood lagi bekerja kantoran. “Dunia kerja itu jahat Mba, karena di dalam kerja itu antara teman ada persaingan yang nggak sehat,” tuturnya.
Ia kemudian menceritakan pengalaman pahitnya saat beberapa kali dicurangi oleh teman sekantornya sendiri sehingga membuatnya tidak betah bekerja kantoran. “Saya nggak sukanya dunia kerja begitu Mba. Kadang-kadang teman kita sendiri aja bisa jadi musuh. Saya dulu bawa temen, gara-gara kerjaan jadi nggak temenan lagi,” ujar Andi.
Ketika sudah bergabung dengan Go-Jek, Andi merasakan antar driver online minim adanya persaingan. “Kalau di perusahaan kan ada orang yang gila jabatan. Ada orang yang pengen naik jabatan cepet-cepet. Kalau di Go-Jek mau saingan gimana orang order-nya masuk dikasih sendiri-sendiri. Mau marah, marah sama siapa orang yang ngasih orderan-nya Go-Jek dari aplikasi,” paparnya.
Selain bebas dari persaingan antarteman, Andi merasa bekerja sebagai driver transportasi online juga memberikannya banyak kebebasan antara lain bebas mengatur jam kerja. “Kalau di kantor kan harus masuk jam sekian, pulang jam sekian. Di Go-Jek kita bebas mau mulai narik jam berapa, pulang jam berapa suka-suka kita,” ujar Andi.
Saat ditanya persaingan dengan ojek pangkalan, Andi mengungkapkan bahwa sekarang ini keadaannya sudah tidak seperti dulu. “Sudah sama-sama saling ngerti aja. Yang penting nariknya tidak di depan mata aja,” ujarnya.
Tinggalkan Gaji Sepuluh Koma
Lebih lanjut selain bebas dari persaingan, ia juga merasa memiliki kebebasan dalam mengatur penghasilan. “Kalau orang kerja di perusahaan itu Mba, gajinya 10 koma. Bukan 10 juta, tapi kalau tanggal 10 sudah koma,” candanya. Ia mengatakan dengan sistem bagi hasil setiap harinya, ia bisa mendapatkan uang tiap hari. “Kalau Go-Jek kan tiap hari ada yang dipegang. Istilahnya buat jajan-jajan anak aja kita nggak usah nungguin habis bulan,” tambahnya.
Saat ditanya berapa kisaran penghasilannya per bulan, Andi menjawab, “Ya kalau ramai bisa dapat tiga ratus ribu sehari, kalau sepi paling lima puluh ribu.” Dengan kisaran pendapatan harian sebesar itu, penghasilan Andi sebulan bisa mencapai 5-6 juta perbulan, jauh di atas upah minimum regional (UMR). Tapi sebandingkah gaji tersebut dengan biaya bensin, pulsa, makan, dan perawatan kendaraan yang harus dia keluarkan? Andi menyatakan, “Yang saya rasain selama ini di Go-Jek sih sebanding Mba.”
Dengan pertimbangan memiliki kebebasan terhindar dari intrik kantor, bebas mengatur jam kerja, dan bebas mengatur penghasilan, Andi menjadikan profesi driver ojek online sebagai pekerjaan tetapnya. “Kenapa saya milih ngojek karena tiap hari pegang uang. Ada uang untuk disisihin. Paling nggak ini kan kita berputar hari ini ada. Nggak harus nungguin gajian tiap akhir bulan,” tegas Andi.
Keterangan:
Andi, bukan nama sebenarnya. Tulisan ini disusun atas perbincangan langsung dengan beberapa pengemudi ojek online.