Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) menegaskan, layanan pinjam-meminjam dalam teknologi informasi (peer to peer lending/P2P lending) tidak bisa disamaratakan dengan rentenir. Asosiasi menilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu mengenali lebih dekat, membedakan, dan mengawasi kegiatan financial technology (fintech), khususnya yang bergerak di bidang P2P lending.
"Sangat berbahaya bila OJK menyamakan semua model bisnis Tekfin dengan rentenir," ujar Wakil Ketua Umum AFTECH, Adrian Gunadi dalam konferensi pers di Centennial Tower Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Pernyataan ini sekaligus menanggapi tudingan Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, yang baru-baru ini mengatakan fintech layaknya rentenir (lintah darat) yang menggunakan platform internet lantaran bunga pinjaman yang tinggi.
Menurutnya, meskipun bunga P2P lending cukup tinggi, tapi selama ini tidak sampai memberatkan peminjam karena masa pinjaman berkisar satu sampai tiga bulan saja. Dalam beroperasi, fintech sebagai platform juga diminta untuk dapat memenuhi standar setara ISO20071 seperti yang harus dipenuhi pelaku usaha keuangan lainnya.
Baca juga: Asosiasi Fintech Akan Tetapkan Batas Bunga Pinjaman P2P Lending
Adrian memperjelas, Fintech P2P lending tidak beroperasi seperti rentenir yang memberikan pay-day loan atau bunga harian kepada nasabah. Namun, P2P lending lahir untuk merangkul masyarakat unbanked dan profesi nonformal, seperti pekerja kreatif, pekerja paruh waktu, buruh tani, nelayan, dan sebagainya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech, Reynold Wijaya yang juga CEO Modalku menambahkan, fintech lahir justru didorong kebutuhan untuk mengatasi gap pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang tinggi di Indonesia.
"Usia usaha yang masih muda. Minimnya data dan ketiadaan agunan dibantu fintech. UMKM di lndonesia diharapkan dapat berkembang menjadi bankable, sehingga fintech dan layanan jasa keuangan incumbent bersifat saling mendukung dan melengkapi," ujar Reynold.